Sabtu, 25 April 2015

EKONOMI POLITIK MARXIAN



A. PENDAHULUAN
Ekonomi Politik Marxis, bersumber pada ajaran-akaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang dikemukakan oleh Adam Smith dan David Ricardo. Berpegangan terhadap teori tersebut dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil menyelidiki “hukum gerak ekonomi masyarakat modern”, Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi baru pertama teori ekonomi Marx yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan dan bahwa mau tidak mau system kapitalisme harus menyingkir dan digantikan oleh sistem sosialis.
Ekonomi Politik Marxian merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme). Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut diyakini oleh Marx sangat di ekploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapab dengan pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-pranata factor produksi selalu terlambat dari percepatan inovasi produksi (teknologi). Dalam terminology ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah kelembagaan yang mengatur antara interaksi antara pemilik modal, tanah, dan tenaga kerja
Persoalan yang mengemuka adalah ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi) sealu tidak diikuti dengan penataan suprastruktur (faktor-faktor produksi) dan itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.

B. PRINSIP-PRINSIP
Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-faktor produksi di bawah kontrol Negara. Keputusan produksi dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi berdasarkan perencanaan terpusat. Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba Negara. Negara bukan sekedar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri.
Sistem ekonomi sosialis hanya berdasarkan dua prinsip yaitu :
1.       Negara menyiapkan seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses perencanaan, operasional, pengawasan, sampai ke evaluasi. Pada level ini fungsi Negara merancang sistem kepemilikan, proses transaksi, dan pembagian keuntunga berbasiskan instrument Negara. Jadi, dalam kasus hak kepemilikan, Negara bukan hanya mengontrol, tetapi juga menguasai hak kepemilikan.
2.       Pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku ekonomi membuat kontak dengan Negara sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan.
Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan akan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi. Akan tetapi, dalam operasionalnya EPM lebih rumit dari sekadar deskripsi diatas.
                Konflik kepentingan itu sebetulnya secara singkat menghadapkan antara kepentingan kelas pekerja dan pemilik modal. Disatu sisi, Marx memberikan latar belakang bahwa kelas pekerja hanya menerima imbalan pada level “subsisten” dari kegiatan ekonomi. Sebaliknya, kelas pemilik modal meraup sebuah profit yang dihasilkan oleh kelas pekerja. Dalam operasionalisasi perusahaan, pemilik modal meminta buruh bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih efisien sehingga menghasilkan laba yang tinggi, tetapi upah buruh tetap pada level subsisten. Situasi inilah yang kemudian memunculkan kesadaran bersama pada kalangan kelas pekerja dan ini menjadi syarat penting bagi tindakan politik. Oleh karena itu, makna EPM adalah tindakan politik sebagai respons atas keterjepitan kelas pekerja dalam proses produksi. Dengan begitu, kesadaran revolusioner dari kelas pekerja dipicu dari system produksi yang menempatkan kelas pekerja sebagai korban.
Agenda politik dari EPM sendiri dapat dipilah menjadi agenda politik dua jenis. Pertama, melakukan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan Negara. Model ini akan terjadi bila masyarakat telah terpolarisasi, konsentrasi modal kian kasat mata, pengangguran semakin membengkak, dan upah yang kian menurun. Kedua, agenda ekonomi politik dikerjakan lewat cara yang lebih lunak, yakni pekerja berpartisipasi dalam kelompik-kelompok kepentingan, partai politik, atau mengikuti pemilihan legislatif.
Tujuan dari model ini adalah kelompok buruh dapat mengakses institusi politik sehingga turut dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan. Model ini berbeda dengan yang pertama adalah hal caranya yang memilih jalur damai ketimbang kekerasan.
                Pada akhirnya, jika lembaga Negara dapat dimasuki oleh kaum pekerja, maka isu-isu semacam peningkatan upah, keamanan kerja, uang pensiun, dan pengawasan kerja bisa lebih memihak kepentingan buruh atau pekerja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar