YUNIATUL FASIKHA
Sedikit yang kita tahu, amalkanlah :)
Rabu, 24 Februari 2016
Ketika Memutuskan untuk Berjilbab Lebih Dini
Hello guys, my name is Aisyah and you can call me Aisy
Aku adalah salah seorang anak dari pasangan suami istri, sebut saja "SS" bukan Spesial Sambal yaa^^ hehhee ngomong-ngomong aku punya banyak kakak lho yang berbagai macam sifatnya, ada yang pendiam, galak, suka marah, selenge'an, pelit, itung-itungan, tapi baik semua kalo sama aku hihiii
Aku adalah seorang pelajar SMP, yang hidup dari keluarga berkecukupan, alhamdulillahnya bisa dibilang keluargaku baik dalam urusan yang menyangkut agama.
Peraturan di sekolahku semua cewek harus pake jilbab, yaaa namanya juga sekolah di pedesaan yang kental akan agamanya, jadiiiii so what? yaa kita harus patuhi aturan itu!
terus kepaksa nggak? buat aku sih itu no problem, but.. untuk yang lain mungkin masih terpaksa.
Walaupun kami tinggal di pedesaan yang katanya kental akan agamanya, tapi yaaa..... jangan beranggapan warga di desa kami pakai jilbab semuaaa yaa hahahaa^^ kan ada yang cowok, masa iyaa pakai jilbab jugaaa *ehh
Suatu hari aku hendak mengerjakan tugas bersama teman-temanku
***Dalam telfon
A : Hallo, kita jadi ngerjain tugas dimana nih?
S : Hay,, di rumahku aja gimana?
A : okeyy siap, bentar lagi aku kesitu tapi aku jemput si "L" dulu yaaaa?
S : Siap. aku tunggu
A : Ok.
=====
A= Aku (Aisy)
S= Sinta
L= Laras
IL= Ibu Laras
IS= Ibu Sinta
KW= Kak WAW
IO= Ibu Oki
=====
Usai siap-siap aku langsung menjemput Laras,
A : tok..tok..tok (sambil mengetuk pintu) Assalamu'alaikum..
IL: (membuka pintu) waalaikumsalam Aisy, silahkan masuk, Laras masih sedang siap-siap. tunggu yaaaa
A : Ok bu,, hehe
IL: Laras, itu Aisy sudah datang, kamu cepetan gih, kasihan dia nunggu lama.
L : iyaaa bu, ini udah siap kok.
IL: kok nggak pakai jilbab? Nggak malu apa ? Aisy aja pakai jilbab loh.
L : nggak bu, panas. yaudah bu, Laras pamit yaaa Assalamu'alaikum (sambil salim ke ibunya)
IL : iyaaa waalaikumsalam..
==
L : Ais, kita langsung ke rumah Sinta yaaa ? Aku laper, beli bakso yuk
A : Nanti aja belinya bareng Sinta yaaa kali aja dia belum makan kan kasian, hehee biar sekalian
L : okeelah aku ikut kamu
==
sampai di rumah Sinta
L : Sinta, udah makan belum? makan yok
S : Belum, ayok mauu banget
A : yok, langsung ajaaa biar fokus ngerjain tugasnya
L : yeeeee cusss
IS: eh,,ehh kalian mau kemana?
S : kita mau makan bu di luar, hehee pamit yaa buu
IS: Pakai kerudung dulu, tuh liat Aisy pakai kerudung! kalian nih nggak pada malu
S : Ih tau nih Aisy bu, pakai kerudung sendirian. Aisy? buka aja sih kerudungnya. deket ini kok pakai kerudung segala. ribett tau nggak
IS: (diem)
A : hehhee maaf yaaa aku nggak bisa, kalian nggak pake kerudung nggak papa kok, aku nggak maksa kalo kalian belum mau. ayok makan
L : ya iyalah, kecuali acara sekolah baru tuh pakai kerudung.
A : iyaa iyaa, ayok keburu sore nih,, pamit yaaa bu.. Assalamu'alaikum
IS: iyaaa,, hati-hati yaaaa.. Waalaikumsalam
==
usai makan bakso kami kembali ke rumah Sinta untuk mengerjakan tugas, sesuai dengan rencana awal. yok fokussss man-cemannn!!!^^
==
Sepulangnya dari rumah Sinta, aku berfikir "emang ada yang salah yaaa kalo aku pakai jilbab?"(dalam batin bertanya) dan dalam batin sendiri aku menjawab "ah udah sih aku kan cuman berusaha untuk menutup auratku, karena aku sudah baligh, biarlah orang mau ngomong apa"
==
Suatu hari, aku keluar rumah tanpa memakai jilbab, karena aku pikir cuman di depan rumah aja jadi nggak perlu pakai jilbab, tapiiiii..... ini reaksinya
jreng jreng jreng*** (jangan tegang)
IO : eh mbak, kok nggak pakai jilbab?? liat tuh kakak-kakakmu pakai jilbab semuaaa.. terus bukannya kalau pergi-pergi pakai jilbab yaaa, kok ini nggak pake?
A : hhmmmmmm... iyaaa bu, ini kan cuman di depan rumah aja hehee
IO : tapi kan itu auratmu, keliataannnnn nduuukk!!!
A : oh iyaaa bu, terima kasih sudah mengingatkan..
IO : iyaaa sama-sama nduukk,, pakai terus jilbabnya yaaaaa...
jreng jreng** begitu lah salah satu reaksi dari ibu teman saya, padahal anaknya (namanya Oki) nggak pernah memakai jilbab kecuali ketika sekolah.
Usai Ibu Oki pergi, aku langsung masuk rumah dan berkata
A : Ini orang nasihatin anak orang, tapi anak sendiri belum bener, suruh anak sendiri pakai jilbab kek buuukkkkkk...
==
Hal ini buat aku melamun sambil berfikir, "kenapa Ibu Oki nasihatin aku gitu yaa?" perlu aku terima nasihatnya nggak sih yaaa.. (X_X)
Dan tak lama kemudian ketika aku sedang melamun memikirkan hal tersebut, salah satu kakakku sebuat saja WAW (bacanya biasa aja yaa hihii) datang menghampiriku dan berkata
KW : "dek,, coba kamu buka fd kamu!, masih ada foto kamu yang nggak pakai jilbab disitu, kalo bisa di hapus yaaa!"
A : "loh emang kenapa kak? itu kan foto-foto lama" (jawabku)
Dan kemudian kakakku memberikan sebuah komentar atau marahan atau bahkan nasehat sih yaaa, gini bunyinya
KW : "kamu mau kalau dosa kamu terus mengalir? yang ada tuh amalan yang mengalir bukan dosa. terus yaa apa kamu nggak kasihan sama yayah (baca ayah) kalo kamu ga pakai jilbab?"
Pernah nggak sih, denger kata-kata ini? "satu langkah kamu keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, maka satu langkah itu juga kamu mengantarkan yayah (baca ayah) menuju neraka" begitu kak WAW berkata padaku.
aku terdiam dan berfikir keras, sambil ngebatin
A : "masa iyaa yaaa yayah sudah berjuang, sudah baik agamanya, sudah istiqomah ibadahnya tapi karena aku nggak berjilbab aku bisa menghancurkan itu semua, ibadah ayah, puasa, sodaqoh semuanya apa gunanya ,, beliau sudah berjuang untuk menggapai cita-cita yang mulia yaitu masuk surga, tapi aku bisa menghancurkan itu semua"
(aku mulai menangis) dan kak WAW menenangkanku sambil berkata
KW: "sudah, jangan di tangisi, hapus aja foto-foto kamu di facebook yang nggak berjilbab. gampang kan?"
A : "iyaa kak, gampang" (jawabku)
KW : "kalau kamu pengin berbakti kepada yayah, tutup auratmu dek" (pesan kak WAW)
A :"iyaa kak iyaa, insyaAllah" (jawabku).
KW : Jangan iya iya aja. awas aja kalau kakak masih liat ada foto kamu yang nggak berjilbab itu di posting, dan kalau kamu keluar rumah tanpa jilbab, kakak bakal marahin kamu!
A : iyaaa kak (dengan nada lirih ketakutan).
==
Usai kejadian tadi, tanpa berfikir panjang aku langsung menghapus postingan fotoku di facebook yang tak berjilbab, dan aku mulai konsisten untuk memakai jilbab (insyaAllah aamiin) walaupun di desaku masih jarang anak muda seusiaku yang memakai jilbab , dan bahkan mungkin bisa dibilang aku adalah anak pertama yang memakai jilbab ketika keluar rumah.
Alhamdulillah, dengan berjilbab aku merasa lebih dilindungi, dan banyak orang yang lebih berpikiran positif tentangku dibandingkan kepada teman-temanku yang tak memakai jilbab.
Ketika kita sudah berjilbab, dan hendak melakukan hal negatif (e.q : pacaran), pasti kamu bakal memikirkan jilbabmu, aduuuhhh malu yaaaa pakai jilbab tapi kemana-mana gandengan sama cowo yang bukan mahromnya *ehh (ini berlaku untuk si penulis juga nggak yaa* huhuhuuu)
==
semoga senantiasa istiqomah untuk menutup aurat yaaa^^
walaupun awalnya terpaksa maka lama-lama kamu akan terbiasa kok, percayalah. Dan ketika hal ini sudah menjadi kebiasaan maka dengan sendirinya kamu akan nyaman dan mulai menyukai hal tersebut (pastinya karena hal ini positif).
Pelan-pelan bisa kok, kalau nunggu kamu siap sampai kapan??
Kalau nunggu dengan kamu menghijabi hatimu dulu,hingga sempurna, sampai kapan??
Karena kita adalah manusia biasa, tempat khilaf dan salah.
Allah itu memerintahkan muslimah untuk berhijab itu setelah baligh, bukan setelah baik.
===
Yogyakarta, 24 Februari 2016
Yuniatul Fasikha
===
Sabtu, 25 April 2015
EKONOMI POLITIK PRIVATISASI
Perubahan
paradigma pemerintahan pada dewasa ini terutama dalam hal penyelenggaraan dan
pengelolaan pemerintahan yang berpandangan pada konsep dan teori reinventing
government (David Osborne dan Ted Gabler, 1992) dan banishing beaucracy (David
Osborne dan Peter Plastrik, 1997) memungkinkan adanya kreativitas dan inovasi
dalam kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan aset-aset nasional dan
daerah. Perusahaan-perusahaan nasional maupun daerah diarahkan menuju
efisiensi, profesionalitas, berdaya saing tinggi, bertaraf internasional dan
profit oriented
Upaya menuju ke arah proses tersebut sudah bukan merupakan wacana lagi, tetapi sudah digulirkan oleh pemerintahan saat ini. Alasan yang mendasari tentu adalah perubahan kondisi perekonomian saat ini yang masih belum juga beranjak dari kondisi keterpurukan Indonesia dalam bidang perekonomian di dunia internasional. Salah satu kebijakan dalam upaya menuju ke arah proses perubahan sektor perekonomian tersebut adalah kebijakan privatisasi.
Pemahaman sejarah dan alasan ekonomi privatisasi diperlukan untuk membangun persepsi yang sama antarstakeholders dalam proses pembangunan. Hal tersebut berguna untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti dan tujuan privatisasi. Hubungannya dengan pembangunan, privatisasi dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan nasional Meningkatnya pendapatan nasional dan daerah, serta kesejahteraan masyarakat akan bertumpu pada keberhasilan program kebijakan privatisasi yang tentu saja bukan program privatisasi yang penting untung sesaat dengan menjual aset-aset negara.
Upaya menuju ke arah proses tersebut sudah bukan merupakan wacana lagi, tetapi sudah digulirkan oleh pemerintahan saat ini. Alasan yang mendasari tentu adalah perubahan kondisi perekonomian saat ini yang masih belum juga beranjak dari kondisi keterpurukan Indonesia dalam bidang perekonomian di dunia internasional. Salah satu kebijakan dalam upaya menuju ke arah proses perubahan sektor perekonomian tersebut adalah kebijakan privatisasi.
Pemahaman sejarah dan alasan ekonomi privatisasi diperlukan untuk membangun persepsi yang sama antarstakeholders dalam proses pembangunan. Hal tersebut berguna untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti dan tujuan privatisasi. Hubungannya dengan pembangunan, privatisasi dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan nasional Meningkatnya pendapatan nasional dan daerah, serta kesejahteraan masyarakat akan bertumpu pada keberhasilan program kebijakan privatisasi yang tentu saja bukan program privatisasi yang penting untung sesaat dengan menjual aset-aset negara.
Pembentukan
perusahaan negara pada dasarnya memiliki dua tujuan, yakni tujuan ekonomi dan
tujuan sosial. Secara ekonomi perusahaan negara bertujuan untuk menjamin
sektor-sektor strategis agar tidak jatuh ke tangan yang salah sehingga akan
merugikan kepentingan masyarakat (Purwoko, 2002). Hal ini sesuai dengan harapan
masyarakat, yakni dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah (murah, selalu
tersedia, tanpa adanya manipulasi harga, dan sebagainya). Sudah barang tentu,
pendapatan bagi negara juga merupakan tujuan ekonomis suatu perusahaan negara.
Sebagai tujuan sosial, keberadaan perusahaan negara berarti membuka peluang
kerja bagi masyarakat.
Dalam prakteknya, dari waktu ke waktu perusahaan negara menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan pembentukannya. Tekanan terhadap kas negara memaksa pemerintah untuk berpikir ulang mengenai eksistensi perusahaan milik negara. Inefisiensi manajemen perusahaan negara sudah sangat dikenal secara luas, sehingga akhirnya memberatkan anggaran negara. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar, mengapa negara ingin melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara atau tugas-tugasnya. Sedangkan di negara sedang berkembang dan belum berkembang, privatisasi sangat sering menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Purwoko, 2002).
Dalam prakteknya, dari waktu ke waktu perusahaan negara menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan pembentukannya. Tekanan terhadap kas negara memaksa pemerintah untuk berpikir ulang mengenai eksistensi perusahaan milik negara. Inefisiensi manajemen perusahaan negara sudah sangat dikenal secara luas, sehingga akhirnya memberatkan anggaran negara. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar, mengapa negara ingin melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara atau tugas-tugasnya. Sedangkan di negara sedang berkembang dan belum berkembang, privatisasi sangat sering menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Purwoko, 2002).
Sejarah privatisasi mempengaruhi alasan ekonomi suatu
negara melakukan kebijakan privatisasi. Negara berkembang seperti Indonesia
turut mengadopsi agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi. Persepsi alasan
yang berbeda membawa dampak hilangnya kekuasaan pengelolaan aset-aset bangsa
yang sebetulnya masih bisa dikelola secara lebih profesional dan membiarkan
perusahaan nasional berkembang secara kompetitif serta lepas dari pengaruh
intervensi kekuasaan dan politik. Alasan yang berkembang karena tuntutan untuk
memperbaiki defisit anggaran negara yang diakibatkan krisis ekonomi, serta
desakan negara-negara kreditor (terutama G-7) dan Internasional Financial
Institutiona (IFIs) seperti IMF dan Bank Dunia perlahan-lahan mulai mendesakkan
agenda privatisasi kepada negara-negara miskin seperti Indonesia, jika ingin
memperoleh hutang dari mereka (Amien Rais, 2008). Pada akhirnya penyimpangan
privatisasi terhadap aset-aset negara baik pusat maupun daerah mungkin sekali
dapat terjadi, dengan berbagai kepentingan, dalih, dan persepsi terhadap
aturan-aturan yang ada. Oleh karena itu kebijakan privatisasi perlu dikontrol
dengan mengedepankan prinsip dasar filosofi Bangsa Indonesia yang tertera jelas
dalam Pancasila, guna mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdaulat, bermartabat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta
adalah fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan
reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih
privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan
tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa
IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum
seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu
menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut.
Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia,
akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu
yang sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi
program yang begitu dikampanyekan dengan massif?
Privatisasi: desakan
negara-negara maju
IMF
dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat berkepentingan dalam
mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan privatisasi. Maka,
dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan finansial kepada
negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa untuk memasukkan
persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh pemerintah.
Kebijakan
privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap ekonomi neo-liberal yang
dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial, ekonomi, politik negara
maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju, privatisasi berjalan mulus
atas kontrol negara yang ketat kepada swasta. Sementara di negara berkembang,
jika mengikuti persyaratan lembaga internasional untuk melepaskan kontrol
negara terhadap layanan publik, justru akan menjadi ladang subur bagi
berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini disebabkan masih
lemahnya fungsi regulasi pendukung iklim kompetisi dan aturan main yang
jelas tentang privatisasi.
Privatisasi
segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang tajam dari beragam
elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik
yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja yang tersedia; ketiga, absennya aturan main yang
mengatur privatisasi, sehingga privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan
keuntungan pasar daripada pelayanan sosial; keempat,hilangnya akses masyarakat
miskin untuk mengkonsumsi barang publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru
dalam tata kelola aset-aset negara.
Privatisasi di Indonesia
Di
Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur pemerintah
tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika sebagian besar
saham PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan Sues Lyonnaise.
Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum Pendidikan tahun
2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan pada Oktober 1994.
Secara
umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah semakin mahalnya dan susahnya
masyarakat menjangkau akses kesehatan, air, pendidikan dan lain-lain.
Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari kewajibannya menyejahterakan
rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya kepada pasar, yang notabene
berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?
EKONOMI POLITIK ERA GLOBALISASI
Gejala globalisasi terjadi pada kegiatan finansial, produksi, investasi
perdagangan yang kelak berpengaruh pada hubungan antar bangsa dan hubungan
antar individu dalam segala aspek kehidupan. Hubungan antar bangsa menjadi
lebih saling tergantung yang bahkan menjadikan ekonomi dunia menjadi satu
sehinga seolah-olah batas antar negara dalam kegiatan perdagangan, bisnis tidak
ada lagi.
Pada umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan
langkah penyesuaian baik dalam wilayah regional maupun masing individu negara
yang kecenderungannya mengarah kepada proteksionisme. Hal terlihat jelas dengan
munculnya blok blok perdagangan yang pada intinya justru melanggar
kesepakatan yang dituangkan dalam WTO.
Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas
investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal
ini disebabkan oleh : (Halwani, 2005 : 194)
1. Komunikasi dan
tranportasi yang semakin canggih,
2. Lalu lintas devisa
yang makin bebas,
3. Ekononomi negara yang
makin terbuka,
4. Penggunaan secara
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara,
5. Metode produksi dan perakitan
dengan organisasi yang makin efisien,
6. Semakin pesatnya
perkembangan perusahaan multinasional (MNC) di hampir segala penjuru
dunia.
Steiner (1997)
menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan global.
Pertama, produk nasional kotor (GNP) tumbuh dan meningkat dengan cepat,
terutama di negara-negara maju. Kedua, revolusi dalam teknologi komunikasi.
Ketiga, kekuatan-kekuatan yang mempermudah munculnya perusahaan besar
berskala global.
Peran Negara Bangsa Dalam Era Global
Robert Gilpin , salah satu tokoh realis menyatakan, peran negara bangsa (nation
state) dalam era globalisasi sekarang ini masih sangat diperlukan
(signifikan). Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut
pendukung globalisasi dan pasar bebas . Menurut Gilpin banyak peneliti
mempunyai keyakinan bahwa tengah terjadi pergeseran besar dari ekonomi state
dominated ke arh ekonomi market dominated. Hancurnya Uni Soviet, kegagalan
strategi subtitusi impor negara dunia ketiga, dan suksesnya AS pada era
1990 an telah mendoring penerimaan unrestricted market sebagai solusi bagi
penyakit ekonomi modern. Karena peran negara menjadi berkurang sebagai
gantinya pasar akan menjadi mekanisme penting baik untuk perekonomian
domestik maupun perekonomian internasional. Menurutnya peran negara bangsa
diyakini akan menjadi pembuka kearah ekonomi global yang sesungguhnya , yang
dicirikan oleh tiadanya hambatan dalam perdagangan , aliran uang dalam skala
global dan kegiatan internasional perusahaan multinasional (Gilpin, dalam
Winarno, 2005)
Namun fakta regionalisme ekonomi diberbagai belahan dunia membuktikan bahwa
peran negara bangsa masih relevan. Regionalisme ini menunjukkan respon penting
dari negara bangsa dalam menyelesaikan secara bersama-sama masalah
politik dan interdependensi yang tinggi dari ekonomi global yang
hypercompetitive.Dibanding regionalisme pada tahun 1950 an dan 1960 an , bentuk
reginalisme baru ini lebih signifikan dalam ekonomi global. Kadangkala
regionalisme ekonomi ini mewakili kepentingan individual negara bangsa
baik untuk kepentingan mereka di level nasional maupun kolektif.
Karena ekonomi global semakin terintegrasi, pengelompokan
regional negara bangsa telah meningkatkan kerjasama dalam rangka
memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar, dan memperjuangkan kepentingan
ekonomi politik lainnnya. Dimasa sekarang ini peran negara bangsa justru
dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan neoliberal .
Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dihilangkan tanpa adanya dukungan
kebijakan yang pada gilirannya makin menunjukkan peran negara bangsa
makin diperlukan dalam perekonomian global.
1. Tingkatan
Globalisasi
Menurut Susan dan Strange (Halwani, 2005:197) globalisasi terjadi pada
berbagai tingkatan. Pertama, dengan mengacu pada gagasan sejarawan Perancis,
Fernand Braudel, globalisasi terjadi pada tingkat material life, yang dimaksud
adalah terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa
yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsun gan dan kenikmatan hidup. Produksi
barang dan jasa itu beroritentasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas
pasar nasional saja.
Kedua, globalisasi juga terjadi pada struktur keuangan, pembiayaan proses
produksi lewat kegiatan investasi kian membutuhkan ruang yang bersifat
global sehingga ada kecenderungan teritoral state tidak lagi menjadi space yang
relevan dan memadai bagi strategi investasi. Selain itu ada ledakan pertumbuhan
transaksi keuangan internasional. Salah satu indikator dari
globalisasi keuangan ini adalah tingkat pertumbuhan yang jauh lebih cepat
dari perdagangan uang asing setiap harinya dibanding dengan total ekspor dunia.
Lairson dan Skidmore (2000) menunjukkan pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1,
tahun 1995 rasionya 81:1 maka pada tahun telah menjadi 107 :1.
Ketiga, globalisasi terjadi pada tingkatan persepsi, keyakinan, gagasan dan
selera. Nilai-nilai seperti demokratisasi, perlindungan HAM, pelestarian
lingkungan hidup telah menjadi isu-isu global. Salah satu contoh yang
merepotkan negara sedang berkembang dari segi penanganan HAM adalah
prinsip humanitarian intervention yang dilakukan PBB atas nama dunia
internasional, dimana saja ada pelanggaran HAM berskala besar yang selalu
dikaitkan dengan embargo ekonomi. Sedangkan keputusan ini banyak dilakukan oleh
negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB.
2. Sudut
Pandang Terhadap Globalisasi
David Held at.al,(1999) membagi pendapat para pakar dalam memandang dan
menyikapi globalisasi dalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis,
kelompok skeptis dan kelompok transformationalis. Bagi kelompok hiperglobalis
pengertian globalisasi adalah sejarah baru kehidupan manusia dimana
negara tradisional telah menjadi tidak relevan lagi, lebih-lebih menjadi
tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global.
Kelompok ini percaya globalisasi ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi”
ekonomi melalui pendirian jaringan jaringan produksi trasnasional
(transnasional networks) , perdagangan, dan keuangan. Dalam dunia yang “
borderless ” peran pemerintah tidak lebih seperti transmission belts bagi
kapital global. Lebih lanjut kelompok ini percaya globalisasi ekonomi tengah
membangun bentuk baru organisasi social yang tengah menggantikan atau akhirnya
akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai lembaga ekonomi utama
dan unit politik dari masyarakat dunia.
Kenichi Ohmae sebagai pendukung hiperglobalis dalam buku The End of
nation State (1995) yang sering dijadikan manifesto hiperglobalis,
berargumen bahwa setidaknya ada empat faktor yang membuat peran negara bangsa
di era “dunia tanpa batas negara“ (a world without borders) makin menipis.Negara
bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa batas yang dapat
dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan ambisi mereka. Empat faktor
tersebut oleh Ohmae disebut sebagai empat I (investment, industry, information
technology dan individual). Investasi sebagai I yang pertama adalah pasar modal
di negara maju yang dibanjiri uang tunai untuk invesasi, karena peluang
investasi tidak selalu ada maka pasar modal mengembangkan berbagai
mekanisme uintuk mentranfer dana keuangan itu melintasi batas-batas nasional.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan aliran dana ini menyebar
dengan cepat keseluruh penjuru dunia. Namun investasi ini juga menimbulkan
dampak buruk bagi negara bangsa yang struktur ekonomi dan keuangannya
rapuh. Kasus Asia Timur, dan Asia Tenggara adalah contoh yang jelas akibat
globalisasi keuangan ini.
Industri yang merupakan I ke dua, adalah industri yang mempunyai orientasi
global dibanding sepuluh tahun lalu. Strategi perusahaan TNC dan MNC tidak lagi
dikendalikan oleh alasan negara namun lebih pada keinginan dan kebutuhan
melayani dan mencari sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia.
Pergerakan investasi dan industri keseluruh dunia tidak lepas berkat kemajuan I
yang ketiga yaitu information technology. Juga ditambah dengan makin murahnya
tranportasi menyebabkan perusahaan transnasional dan aliran modal global
makin gampang bergerak ke seluruh dunia. Teknologi informasi pulalah yang
menyebabkan integrasi, interdependensi dan interlink semua aspek
kehidupan baik itu budaya, ekonomi dan politik sehingga terciptalah
globalisasi budaya, globalisasi ekonomi dan globalisasi politik.
Individual sebagai I keempat, menunjukkan individu di seluruh dunia makin
berorientasi global. Teknologi informasi memungkinkan individu melihat, membeli
dan berperilaku seperti dilakukan dibelahan dunia lain. Hal ini terutama
terlihat pada gaya hidup yang banyak meniru perilaku individu di negara maju.
Konsumen makin menginginkan produk berkualitas, murah tanpa menghiraukan
darimana produk tersebut berasal. Fenomena ini dikenal sebagai
international demonstration effect.
Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini disebut sebagai kelompok
skeptis terhadap globalisasi. Hirst dan Thompson sebagai pendukung kelompok
skeptis, menyerang tesis hiperglobalis yang menganggap remeh peran kekuasaan
pemerintahan nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional.
Bahkan Hirst dan Thompson menganggap globalisasi adalah mitos belaka.
Kelompok skeptis ini berpendapat bahwa kekuatan global itu sendiri sangat
tergantung pada kekuasaan mengatur pemerintahan nasional untuk menjamin
liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
sebenarnya proses globalisasi hanya berlangsung di Jepang, Amerika Serikat dan
Eropa. Sedangkan kekuatan regionalisme menjadi satu ciri yang menunjukkan peran
negara bangsa.
Kelompok ketiga ini terletak diantara pandangan ekstrim hiperglobalis dan
skeptis, kelompok ini dikenal dengan nama transformasionalis. Kelompok ini
berkeyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, globalisasi adalah
kekuatan utama dibalik perubahan sosial, ekonomi dan politik yang tengah
menentukan kembali masyarakat masyarakat modern dan tantanan dunia (world
order). Penganut kelompok ini meyakini proses globalisasi yang tengah
berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak
lama lagi perbedaan antara internasional dan domestik, hubungan internal
dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Meskipun mereka juga mengakui bahwa
proses globalisasi mempunyai akar sejarah yang panjang.
Mengenai peran negara bangsa, kelompok tranformasionalis berpendapat
bahwa globalisasi yang tengah berlangsung saat ini sedang mengatur
kembali kekuasaan, fungsi dan otoritas pemerintahan nasional. Peran negara
harus disejajarkan dalam berbagai tingkat dengan perluasan yurisdiksi
lembaga pengaturan internasional sebagai mana kewajiban yang berasal dari hukum
internasional. Artinya peran negara bangsa sejajar dengan lembaga internasional
dan perusahaaan transnasional.
David Held dalam buku Global Tranformation (2000) sebagai kelompok tranformatif
ini menyatakan bahwa globalisasi masa lampau dengan sekarang berbeda jauh
karena tiga hal yaitu ; velocity, intensity dan extensity. Karena tiga hal
tersebut globalisasi sekarang menimbulkan dampak dahsyat dibanding
globalisasi sebelumnya. Namun bukan berarti telah melabrak segala sesuatunya
hingga hilang, budaya lokal dan negara bangsa (nation state) tetap ada.
MODEL-MODEL
DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
Terlepas dari suka atau tidak suka, proses globalisasi meskipun belum jelas
tipe idealnya terus terlanjut karena kekuatan-keuatan internal (pasar,
informasi, teknologi dan kontrol) Namun untuk kepentingan ilmu ekonomi dan ilmu
pengetahuan pada umumnya bentuk masa depan sistem ekonomi internasional atau
system ekonomi global tetap penting untuk dipetakan. Hirst dan Thompson (1996)
mengajukan dua model ideal, yaitu : 1) ekonomi internasional yang terbuka (an
open international economy) dan 2) ekonomi global purna ( a fully globalized
economy)
Model I: Ekonomi
internasional
Model pertama ini
merupakan system ekonomi yang masih bercirikan ekonomi nasional masing-masing
negara. Hubungan perdagangan dan investasi antar bangsa tidak serta merta
menhilangkan identitas sistem ekonomi nasional, tapi lebih merupakan
dinamika hubungan keluar (outward looking) dari masing-masing pelaku.
Meskipun demikian, hubungan intensif dalam uda bidang tersebut terus membawa
pelaku-pelaku ekonomi nasional berintegrasi ke pasar internasional.
Pemisahan identitas dan kebijakan pada dua level (nasional dan
internasional) masih tetap terlihat dengan jelas.
Sistem ekonomi internasional juga ditandai oleh bangkitnya perusahaan
multinasional (MNC, Multi National Corporation). Meskipun demikian MNC masih
bias diidentifikasikan basis negaranya dan tetap mengikuti tata aturan dan
kebijakan nasional masing-masing. Ekonomi internasional sekarang memang
diarahkan lebih terbuka, diikuti oleh kebangkitan lembaga-lembaga seperti
WTO/GATT, APEC dan lain sebagainya. Lembaga ini dibuat untuk menjaga
keterbukaan ekonomi negara anggotanya meskipun pada kenyataannya
negara maju lebih banyak diuntungkan. Sistem ekonomi internasional
semakin intensif berinteraksi satu sama lain pada akhir abad ke-20 ketika
revolusi teknologi komunikasi dan informasi muncul.
Model II : Ekonomi
Global (globalized economy)
Model kedua ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari model pertama dimana
ekonomi internasional hanya merupakan bagian integral dari segenap proses,
transaksi dan perkembangan global. Ekonomi global tercipta dan saling
berinteraksinya ekonomi nasional mengarah ke bentuk kekuatan baru. Dengan
demikian kebijakan pada tingkat nasional maupun kebijakan bisnis pada tingkat
perusahaan tidak lain sebagai perwujudan dan penyatuan
kekuatan-kekuatan pasar global. Kebijakan, kegiatan dan interaksi pada tingkat
nasional diintegrasikan ketingkat global.
Meskipun demikian kegiatan dan sistem ekonomi yang mengglobal membawa persoalan
: “Bagaimana dengan institusi pemerintah pada tingkat yang sama
(internasional), yang menyertai institusi pasar global ?” Masalah ini
merupakan isu krusial karena tanpa mekanisme pemerintahan, institusi pasar akan
berkembang pada tatanan yang amat riskan, tidak adil, mendekati hukum rimba dan
tidak akan mampu mengakomodasikan nilai moral dan etika.
Dalam model ekonomi global, institusi negara dalam bentuk governance
pada tingkat internasional tidak bisa hadir dengan sendirinya tanpa
konsensus kolektif negara anggotanya. Institusi pada tingkat inilah yang
tidak berkembang dengan baik, terbukti dengan krisis yang terjadi sejak tahun
1930an (depresi), tahun 1970-an (krisis minyak), sampai akhir 1990-an (krisis
mata uang di Asia), menunjukkan berperannya institusi governance pada
tingkat internasional.
DAMPAK EKONOMI
GLOBAL.
William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Maniac Global
Capitalism (1998) melontarkan tesisnya bahwa motor dibalik globalisisme adalah
” kapitalisme global ”. Sesuai dengan watak dari kapitalisme yang rakus
dan tidak pernah puas, mereka beramai-ramai menguras kekayaan dunia, masuk ke
kantong mereka dnegan memanfaatkan teknologi komputer, mengabaikan kesantunan
hidup bersama.Memang kapitalisme global telah memberikan kenyamanan dan
kemudahan namun hanya dinikmati 10 % penduduk dunia. Sementara jurang antara
kaya dan miskin (istilah baru, digital devide) menjadi kian menganga. Kapitalis
global ini terdiri atas spekulan uang yang jumlahnya tidak lebih dari 200.000
orang (termasuk George Soros yang paling terkenal) dan 53.000 MNC yang hanya
memperkerjakan 6.000.000 orang di seluruh dunia.Juga institusi seperti IMF,
World Bank, WTO. Lembaga-tersebut telah secara langsung maupun tidak langsung
membantu liberalisasi ekonomi keseluruh dunia, dimana tahun 1970 an pasar dunia
masih merupakan pasar tertutup. (Halwani,2005:201)
Dampak utama yang muncul akibal globalisasi ekonomi adalah
bagaimana mengatur ekonomi global itu. Pasar global yang terlepas dari
konteks sosialnya sulit sekali diatur sekalipun taruhlah ada kerja sama
yang efektif antara pihak yang berwenang mengatur ekonomi dan kepentingan
mereka sejalan. Kesulitan utama adalah bagaimana menyusun pola kebijakan
nasonal dan internasional yang efektif dan terintegrasi guna menghadapi
kekuatan-kekuatan pasar global. Ketergantungan sistematik antara negara
dan pasar sama sekali tidak harus berarti akan tercipta secara otomatis
integrasi harmonis yang memberikan manfaat pada konsumen dunia, karena
pasar global benar-benar bebas dan efisien dalam membagikan sumber dan daya
produksinya.
Dampak utama kedua adalah pelaku ekonomi yang banyak berperan dalam
model ekonomi global ini adalah perusahaan besar MNC (multi national
corporation) dan akan berubah menjadi TNC (trans national
corporation). TNC bercirikan murni modal yang bebas mengalir kemana saja
(footloose investment) juga industri yang gampang pindah lokasi (footloose
industry) tanpa kedudukan nasional, dengan pengelolaan manajemen internasional,
dan bersedia beroperasi dimana saja untuk mencari laba sebesar-besarnya. Di
sektor keuangan hal ini dapat dicapai dengan mudah, cukup dengan menekan
tombol komputer maka lalu lintas modal akan berpindah ke belahan dunia
manapun tanpa terpengaruh campur tangan kebijakan moneter nasional sedikitpun.
Dampak globalisasi yang terakhir dan tidak dapat terelakan adalah bahwa
dalam sistem politik internasional muncul pusat-pusat kekuatan baru.
Negara yang selama ini memegang kekuasaan hegemoni di dunia tidak dapat
lagi memaksakan tujuan kebijakannya sendiri, baik di dalam wilayahnya maupun di
tempat lain,sementara lembaga lain (swasta maupun pemerintah) yang selama ini
lemah sekarang akan lebih kuat. Berbagai lembaga, dari lembaga
sukarela internasional hingga perusahaan TNC, menikmati kekuasaan yang lebih
besar sementara wibawa pemerintah nasional makin turun. Lembaga-lembaga
ini dengan menggunakan pasar global dan media global, memperoleh
legitimasi dari konsumen dan warga lintas batas.
1. Janji janji
Globalisasi
Dampak positif yang dijanjikan globalisasi sangat banyak
(Deliarnov, 2006 : 203). Selain menjanjikan memperlancar arus tranportasi
dan informnasi; memberikan akses dan alih pengetahuan; memperpanjang usia
harapan hidup; melayani masyarakat lebih baik lagi; meningkatkan pertumbuhan
ekonomi; meningkatkan ekspor; membuat harga lebih murah; meningkatkan standard
hidup; mengurangi kemiskinan; mengurangi ekploitasi terhadap tenaga kerja
wanita dan anak-anak. Selain daftar kehebatan di atas, globalisasi juga
dipandang sebagai salah satu pendorong lahirnya lembaga atau
badan yang memberikan banyak bantuan modal (World Bank dan IMF),
lembaga yang merupakan wadah pasar bebas (WTO), institusi intergovernmental
untuk bantuan perdamaian (PBB); perburuhan (ILO); pendidikan (UNICEF);
kesehatan (WHO) dan juga lembaga bantuan sosialm (Palang Merah Internasional).
Bahwa globalisasi akan membantu negara-negara sedang berkembang
meningkatkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga
murah. Hal ini juga cuma janji kosong, karena pada kenyataannya negara sedang
berkembang justru berhadapan dengan produk dari negara maju yang lebih berkualitas
dan harga yang lebih murah. Sedangkan produk negara sedang berkembang sulit
masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan berbagai cara.
Globalisasi akan menciptakan lapangan kerja. Hal ini memang tujuan utama
didirikannya IMF ; Bank Dunia GATT seperti disarankan oleh JM Keynes, yakni
untuk mengatasi kegagalan pasar dan mendorong peran pemerintah dalam
menciptakan lapangan kerja. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain, justru
munculnya TNCs di negara berkembang menimbulkan pengangguran karena biasanya
bisnisnya bersifat capital intensive dan high technology. Menurut Susan George,
200 TNCs terbesar menguasai 25 % kekayaan dunia, tapi tidak banyak menyerap
tenaga kerja. Sedangkan 6000 TNCs yang menguasai sepertiga perdagangan
dunia hanya mampu menyerap kurang dari 1 % tenaga kerja dunia.
Globalisasi juga dikatakan akan mengurangi eksploitasi terhadap tenaga kerja
perempuan dan anak-anak. Dalam prakteknya malah menunjukkan telah terjadi
“feminisasi” tenaga kerja, yakni dominannya tenaga kerja perempuan disektor
industri dengan upah yang rendah. Bahkan sebagian migran perempuan dari
desa-desa itu terjebak trafficking (perdagangan perempuan antar negara).
2. Dampak Globalisasi
Ekonomi Terhadap Indonesia.
Sejak tahun 1993, OECD sudah memberi sinyal Indonesia akan dirugikan dengan
berlakunya liberalisasi perdagangan internasional. Akan tetapi Soeharto sebagai
penguasa Orde Baru yakin sekali dengan prakarsa perdagangan bebas. Akhirnya
yang terjadi adalah ramalan OECD tersebut terbukti, yakni Indonesia justru
menghadapi persaingan baru dari negara-negara maju yang mampu menghasilkan
produk dengan kualitas baik dan harga bersaing, sedang produk Indonesia sulit
masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan pencabutan fasilitas
kemudahan ekspor yang bernama Generalized System of Preference. GSP ini
merupakan fasilitas yang diberikan oleh Departemen Perdagangan AS kepada
sejumlah negara untuk mengurangi dan menghilangkan pajak impor bagi negara yang
dianggap berdagang secara “sehat“ dengan AS.
Sejak peristiwa WTC 11 September 2001, AS khususnya melakukan proteksi yang
dikemas dengan istilah undang-undang bio-terrorism, iso-labeling, eco-labeling,
ditambah embargo ekonomi dan sangsi ekonomi. Peristiwa Santa Cruz di Timor
Timur (waktu itu) membuat Indonesia diembargo dalam pengadaan alat militer dan
juga perdagangan ekspor Indonesia ke AS. Tekanan paling keras dilakukan
AS terhadap negara industri baru di Asia Timur termasuk Indonesia. Hal ini
dilakukan oleh AS guna menyeimbangkan neraca perdagangan As yang merosot pada
beberapa tahun terakhir ini. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian nasional
karena masuknya produk asing, embargo, dan proteksi negara tujuan ekspor
khususnya AS menjadikan daya saing produk domestik lemah dan munculnya efek
domino karena tutupnya sejumlah industri, yaitu PHK dan pengangguran.
Perluasan ekspor Indonesia terasa makin berat sejak dicabutnya GSP tahun 2005
belum lagi halangan masuk (entry barrier) yang sengaja diciptakan oleh negara
maju. Sehingga ekspor tekstil Indonesia tidak memiliki kuota untuk masuk pasar
AS. Didalam negeri gempuran produk China terus-menerus terjadi, sehingga
beberapa industri domestik rontok dan merumahkan karyawannya.
Globalisasi bukan hanya menggempur pelaku ekonomi di negara sedang
berkembang. Globalisasi mampu mengendalikan demokrasi bahkan bertindak lebih
jauh dengan mendikte apa yang harus dilakukan pemenang pemilu yang
diselenggarakan secara demokratis sekalipun. Rakyat memang menentukan
siapa yang menang dalam pemilihan umum. Namun siapa yang akan duduk di kabinet
bisa ditentukan oleh konstituen pasar yang berada di sentra finansial
global.
Di pasar global Indonesia tidak menghadapi persaingan biasa yang hanya
menggantungkan diri pada mekanisme pasar, tetapi Indonesia menghadapi kekuatan
yang terpola. Kekuatan ini bisa berbentuk TNCs, MNCs, pemerintahan negara kaya,
lembaga dunia seperti IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia saat ini berada dalam
jebakan “perang modern” yang dimulai dari krisis moneter 1997/1998. (Deliarnov,
2006).
EKONOMI POLITIK MARXIAN
A. PENDAHULUAN
Ekonomi
Politik Marxis, bersumber pada ajaran-akaran ekonomi politik klasik Inggris,
terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang dikemukakan oleh Adam Smith dan
David Ricardo. Berpegangan terhadap teori tersebut dan melanjutkan secara
konsekuen teori ini, sambil menyelidiki “hukum gerak ekonomi masyarakat
modern”, Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi baru pertama teori ekonomi
Marx yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya
bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan dan bahwa mau tidak mau
system kapitalisme harus menyingkir dan digantikan oleh sistem sosialis.
Ekonomi
Politik Marxian merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme).
Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut diyakini oleh Marx sangat di ekploitatif
karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapab dengan pemilik modal. Hal
ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-pranata factor
produksi selalu terlambat dari percepatan inovasi produksi (teknologi). Dalam
terminology ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah
kelembagaan yang mengatur antara interaksi antara pemilik modal, tanah, dan
tenaga kerja
Persoalan
yang mengemuka adalah ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan
atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada
masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan
faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi)
sealu tidak diikuti dengan penataan suprastruktur (faktor-faktor produksi) dan
itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.
B. PRINSIP-PRINSIP
Berdasarkan
kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-faktor produksi di
bawah kontrol Negara. Keputusan produksi dan investasi tidak dilakukan melalui
pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi berdasarkan perencanaan
terpusat. Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai
ekonomi serba Negara. Negara bukan sekedar sebagai agen yang mengalokasikan dan
memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi
itu sendiri.
Sistem ekonomi sosialis hanya berdasarkan dua
prinsip yaitu :
1. Negara menyiapkan
seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti
investasi, dari mulai proses perencanaan, operasional, pengawasan, sampai ke
evaluasi. Pada level ini fungsi Negara merancang sistem kepemilikan, proses
transaksi, dan pembagian keuntunga berbasiskan instrument Negara. Jadi, dalam
kasus hak kepemilikan, Negara bukan hanya mengontrol, tetapi juga menguasai hak
kepemilikan.
2. Pelaku ekonomi
tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku
ekonomi membuat kontak dengan Negara sesuai dengan aturan yang telah di
tetapkan.
Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan
akan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi. Akan tetapi, dalam
operasionalnya EPM lebih rumit dari sekadar deskripsi diatas.
Konflik
kepentingan itu sebetulnya secara singkat menghadapkan antara kepentingan kelas
pekerja dan pemilik modal. Disatu sisi, Marx memberikan latar belakang bahwa
kelas pekerja hanya menerima imbalan pada level “subsisten” dari kegiatan
ekonomi. Sebaliknya, kelas pemilik modal meraup sebuah profit yang dihasilkan
oleh kelas pekerja. Dalam operasionalisasi perusahaan, pemilik modal meminta
buruh bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih efisien sehingga menghasilkan
laba yang tinggi, tetapi upah buruh tetap pada level subsisten. Situasi inilah
yang kemudian memunculkan kesadaran bersama pada kalangan kelas pekerja dan ini
menjadi syarat penting bagi tindakan politik. Oleh karena itu, makna EPM adalah
tindakan politik sebagai respons atas keterjepitan kelas pekerja dalam proses
produksi. Dengan begitu, kesadaran revolusioner dari kelas pekerja dipicu dari
system produksi yang menempatkan kelas pekerja sebagai korban.
Agenda politik
dari EPM sendiri dapat dipilah menjadi agenda politik dua jenis. Pertama,
melakukan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan Negara. Model ini akan
terjadi bila masyarakat telah terpolarisasi, konsentrasi modal kian kasat mata,
pengangguran semakin membengkak, dan upah yang kian menurun. Kedua, agenda
ekonomi politik dikerjakan lewat cara yang lebih lunak, yakni pekerja
berpartisipasi dalam kelompik-kelompok kepentingan, partai politik, atau
mengikuti pemilihan legislatif.
Tujuan dari model ini adalah kelompok buruh
dapat mengakses institusi politik sehingga turut dalam proses pengambilan
keputusan atau kebijakan. Model ini berbeda dengan yang pertama adalah hal
caranya yang memilih jalur damai ketimbang kekerasan.
Pada
akhirnya, jika lembaga Negara dapat dimasuki oleh kaum pekerja, maka isu-isu
semacam peningkatan upah, keamanan kerja, uang pensiun, dan pengawasan kerja
bisa lebih memihak kepentingan buruh atau pekerja.
EKONOMI POLITIK KEYNESIAN
EKONOMI POLITIK KEYNESIAN
Teori
keynesian ini berusaha mengkritik tentang konsep pasar yang meregulasi dirinya
sendiri yang banyak digunakan oleh para pemikir klasik dan neoklasik
sebelumnya. Dalam pandangan klasik dan neo mereka lebih beranggapan dan
menempatkan pada regulasi pasar mandiri. Pada penganut mahzab Keynesian
beranggapan bahwa ketiadaan regulasi pasar yang diciptakan oleh negara pasti
menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya produktif masyarakat
tertentu. Berpijak pada hal inilah maka keynesian berpandangan bahwa dalam
derajat tertentu menhendaki adanya peran negara dalam aktifitas ekonomi
(Erani:31).
Namun
dalam pandangan keynesian ini peran negara dalam mencampuri aktifitas ekonomi
dibatasi dalam hal ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan dalam. Oleh
karena itu selama mekanisme pasar masih normal peran negara dalam mencampuri
aktifitas ekonomi tidak diperbolehkan. Bagi keynes, dalam mekanisme pasar
diyakini akan terjadi kegagalan pembelian. Dengan membiarkan terus aktifitas
produksi secara bebas akan menciptakan penawaran produk yang berlimpah,
sehingga terjadi akumulasi penawaran (Caporaso:237). Pada sisi lain, dengan
terus mendorong aktifitas produksi mengakibatkan daya beli masyarakat tidak
kunjung meningkat. Namun dalam hal ini keynes sangat berbeda pandangan dengan
Adam Smith dimana Adam Smith sangat anti dengan campur tangan pemerintah
(Deliarnov:31).
Dalam
pandangan ini, kontribusi yang paling penting dari keynes bagi ekonomi politik
adalah pembuktian yang ia buat bahwa mekanisme penyesuaian diri dalam
perekonomian pasar (regulasi yang dilakukan pasar terhadap dirinya sendiri)
memiliki beberapa keterbatasan. Dengan kata lain, perekonomian pasar pada
dasarnya tidak mampu memanfaatkan keseluruhan potensi produksi yang ada dalam
masyarakat. Seringkali pasar kurang berhasil dalam mempertemukan antara pemasok
dengan pembeli (Caporaso:237). Model yang dibuat keynes untuk menjelaskan
fenomena pengangguran menunjukan bahwa mekanisme koreksi diri dalam pasar
ternyata bisa tidak berfungsi. Perubahan terhadap penilaian kolektif mengenai
kemampuan pasar untuk mengatur dirinya sendiri menghasilkan beberapa masalah
penting dalam agenda politik. Salah satu agenda yang terpenting adalah peran
dalam pemerintah untuk menjamin nafkah warga masyarakat dan menjamin adanya
investasi dalam masyarakat. Kritik keynesian menunjukan bagaimana
pengorganisasian pasar tenaga kerja dan pasar kapital menimbulkan persaingan
dalam pasar-pasar itu.
Dengan
demikian, dari keseluruhan deskriptif diatas bisa dirunut dengan sebuah narasi
bahwa keynesian berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah
terjadinya resesi ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan (under
consumtion) bagi keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya resesi
secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan
tersebut bersifat sistematis. Pemikiran ini dengan terang memberikan ilustrasi,
bahwa negara dalam moment-moment tertentu harus bertindak untuk mengatasi
kegagalan pasar (Erani:37). Tujuan dari tindakan ini untuk memulihkan kembali
aktifitas ekonomi sehingga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dapat
terus berlangsung, yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan
oleh pasar. Intervensi pemerintah lebih banyak dipakai untuk stabilisasi
ekonomi dengan berkutat pada area berikut, yakni memanipulasi permintaan
agregat, memperkuat sektor keuangan, dan stabilisasi harga. Sebagian besar hal
itu dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan fiskal pemerintah.
Dalam
teori keynesian juga membahas tentang sirkularitas dari proses ekonomi. Dimana
dalam teori sirkularitas membahas tentang alur siklus produksi. Dalam aliran
keynesian juga membahas tentang alur sirkular tenaga kerja, dimana uang dalam
alur sirkular ini memainkan peran peran penting terutama ketika kita hendak
menelaah apakah proses ini berjalan stabil atau tidak stabil, sehingga perlu
menekankan bahwa semua pergerakan atau aliran dalam proses ini selalu
melibatkan uang.
Dalam
kenyataannya pasar yang justru sistem regulasinya diatur oleh pemerintah malah
tidak bisa menstabilkan kondisi pasar yang ada, padahal seharusnya kalau kita
merujuk pada pandangan keynesian, tentu mampu meredakan gejolak-gejolak yang
ada dalam mekanisme pasar itu sendiri. Malah sekarang kondisi pasar yang ada di
indonesia masih menunjukan praktek-praktek kapitalis. Karena melihat
kenyataan-kenyataan yang ada, setiap peraturan yang dikeluarkan malah hanya
untuk kekuatan pemodal dan bukan untuk mengatasi persoalan pasar. Nicholson
(1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu
keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Dikaitkan
dengan masalah pasar pengangguran, justru masih merupakan sebuah problem
tersendiri bagi pemerintah Indonesia sekarang karena masalah pengangguran ini
erat kaitannya dengan pasar tenaga kerja. Hal ini masih merupakan penyesuaian
dengan keterbatasan yang membatasi dirinya.Pasar merupakan
interaksi antara permintaan dan penawaran yang akhirnya menghasilkan harga. Dan
karena tenaga kerja termasuk dalam komoditas pasar faktor produksi, maka tenaga
kerja juga mempunyai harga dalam perdagangannya. Masih menurut cara berpikir
aliran neoklasik, kegiatan perekonomian digerakan oleh dua sumbu: investasi dan
tabungan. Dalam pandangan ini pertumbuhan ekonomi hanya mungkin terjadi bila
ada investasi, karena dengan investasi akan diraih dua hal sekaligus: 1.
investasi akan menciptakan permintaan tenaga kerja dan dengan begitu akan
menimbulkan kekuatan daya beli akibat tingkat pendapatan yang diterima oleh
pekerja. 2. Investasi akan menghasilkan barang/jasa yang dilemparkan ke pasar
dan ini menjadi dasar dari pendapatan ekonomi nasional (Erani:224).
Pembangunan
hanya bisa dicapai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar guna meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Menurut Human Development Report (2000:3b)
menyatakan: “Development should begin with the fulfillment of the basic
material needs of an individual including food, clothing, and shelter, and
gradually reach the highest level of self-fulfillment. The most critical form
of self-fulfillment include leading a long and healthy life, being educated,
and enjoying a decent standard of living. Human development is a
multidimensional concept comparising four demension, economic,
social-psyhological, political and spiritual.
Ada
tiga peran yang dapat dilakukan negara untuk mengatasi masalah eksternalitas.
Pertama, pembagian otoritas dan tanggung jawab antara pemerintah lokal,
pemerintah pusat/negara, dan badan-badan pemerintah (misalnya pengawasan polusi
udara) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan seetiap program. Kedua,
keengganan umum untuk menggunakan kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah
eksternalitas, seperti pajak bagi penghasil polutan. Ketiga, ketidak mauan
untuk mempetimbangkan tingkat ‘optimal’ dari kerusakan lingkungan
(environmental disruption) menyebabkan eksternalitas hanya bisa diatasi melalui
pengeluaran sumberdaya masyarakat (society’s resources). Jadi dengan tiga peran
itulah negara bisa datang untuk menuntaskan masalah eksternalisasi.
Berpijak
pada pandangan inilah, maka pendekatan EPK dalam derajat tertentu menghendaki
adanya peran negara dalam aktivitas ekonomi. Mahzab Keynesian menghendaki
adanya peran negara peran negara dalam perekonomian hanya ketika mekanisme
pasar mengalami kegagalan. Oleh karena itu, sepanjang mekanisme pasar tidak mengalami
kegagalan, negara tidak diizinkan untuk mengintervensi pasar.
Lebih
lanjut, fokus utama EPK adalah
terciptanya fokus utama stabilitasproses produksi dan pertumbuhan yang
dilakukan oleh kelompok pemodal. Dengan aktivitras ini, dipastikan
kegiatan produksi sekaligus transaksi perdagangan yang dipelopori dengan aktor
utama pemilik modal akan dapat mendonasikan pendapatan yang besar bagi negara.
Internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain yang tidak
kalah spektakuler. Kaum klasik/neoklasik berpandangan sangat logis bahwa
pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik inefisiensi
ekonomi yang digeliti oleh warga/firma suatu negara.
Ekonomi
Politik Keynesian. Pendekatan Keynesian mengajukan sebuah kritik terhadap
konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunaka oleh pemikir
klasik dan neoklasik sebelumnya. Kritik dari pendekatan Keynesian ini
mempertanyakan pandangan bahwa system pasar yang tidak diregulasi akan dapat
sepenuhnya memanfaatkan potensi produksi yang ada dalam sebuah masyarakat. Inti
dari argument tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri adalah bahwa system
pasar akan mempertemukan orang yang memiliki permintaan dengan orang yang
memiliki pasokan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dari smeua orang akan
terpenuhi sedapat mungkin. Argumen neoklasik ini merujuk pada harga dan
permintaan. Harga dari barang akan naik atau turun sedemikian rupa sehingga
semua kebutuhan pasar akan terpenuhi yaitu semua yang dibawa produsen ke pasar
akan selalu mendapatkan pembeli. Mekanisme harga ini akan menjamin bahwa
permintaan akan selalu ada dan sekaligus membuat investasi capital diarahkan
pada bagian-bagian yang memerlukan lebih banyak investasi, dimana kebutuhan
yang lebih tinggi akan investasi ini akan ditandai dengan adanya profitabilitas
yang lebih besar. Menurut argument neoklasik ini, memang bisa jadi seorang
produsen tertentu akan gagal untuk menjual semua yang mereka produksi atau bias
mereka produksi, karena apa yang mereka jual tidak diinginkan oleh mereka yang
memiliki daya beli yang cukup untuk membelinya.
Kritik
dari pendekatan Keynesian mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli
bisa jadi merupakan kesalahan sistemik yang ada tidak ada hubunganya dengan
ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melainkan
bisa disebabkan karena kegagalan dari mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik
pembeli-pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar
gagal untuk mempertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga tidak berhasil
memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat.
Kritik
dari pendekatan Keynesian berusaha untuk
mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dengan pasar. Namun
sejauh ini, banyak ekonom dari aliran Keynesian menyimpulkan bahwa kegagalan
dalam permintaan agregat (kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen
dalam jumlah sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar) tidak harus diperlukan
sebagai sebuah masalah politik. Para ekonom Keynesian mengajukan argument bahwa
stabilitasdan kecukupan dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan
mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administrative
dan bukan dengan cara politik. Argumen dari pendekatan Keynesian ini, tentus
saja, dapat diperdebatkan lagi. Tapi yang penting disini adalah bahwa
perdebatan terhadap pandangan dari aliran Keynesian ini akan menggeser fokus
dari topik-topik utama dalam ekonomi politik ke bidang yang berbeda, sehingga
akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, diantaranya: dalam kondisi yang
bagaimana pengelolaan yang dilakukan Negara terhadap perekonomian memerlukan
agenda politik dan tidak cukup hanya dengan menggunakan fungsi administratif.
Pendekatan
Keynesian memfokuskan pada
ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis.
Karena adanya beberapa factor seperti yang akan dipaparkan nanti dalam bagian
ini, perekonomian kapitalis mengandung proses-proses yang membuat reproduksi di
dalamnya menjadi tidak stabil sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti
perkembangannya. Proses-proses yang menimbulkan ketidakstabilan ini membuat
kita menjadi ragu tentang sejauh mana pasar yang meregulasi dirinya sendiri
dapat dijadikan institusi bagi masyarakat untuk mengorganisir produksi dan
distribusi barang.
Kebijakan
ekonomi dan kerja penuh. Solusi yang ditawarkan oleh Keynes untuk
persoalan pengganguran karena itu berpusat pada tingkat aggregate demand.
Tingkat aggregate demand menentukan tingkat output yang terkait dengan tingkat
kesempatan kerja. Jika ekonomi di bawah kesempatan kerja penuh, maka tingkat
aggregate demand bisa ditingkatkan sampai ke sebuah titik yang melalui
mekanisme multiplier, ekonomi tersebut mencapai tingkat kesempatan kerja penuh.
Tingkat
aggregate demand mempunyai komponen berbeda, dalam sebuah ekonomi tertutup
komponen adalah konsumsi, investasi dan belanja Negara : AD=C+I+G. Karena itu
mengontrol AD melalui control dari kompomen-komponen itu.
Karena
dalam framework Keynesian permintaaan adalah mesin dari ekonomi (sementara
dalam framework liberal ini adalah penawaran – ingat hukum Say: penawaran
menciptakan permintaanya sendiri), maka baik kebijakan fiscal maupun moneter
menjadi alat untuk usaha mengontrol komponen tingkat aggregate demand yang karennya
akan mempengaruhi output kesempatan kerja.
EKONOMI POLITIK KLASIK / NEOKLASIK
Ekonomi
olitik klasik/neoklasik berakar dari mazhab ekonomi klasik yang menjadi sumber
terpenting perumusan kebijakan ekonomi abad 20 dan 21. Mazhab ini yang menjadi
cikal bakal system ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis tegak oleh 4
pilar dasar yaitu : 1. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan
dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrument harga sebagai penanda
(sinyal). 2. Setiap individu mempunyai kebebasan untuk mempunyai hak
kepemilikan (property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). 3.
Kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik factor produksi, yakni pemodal
(capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). 4. Tidak ada
halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar (free entry and exit
barriers).
Dalam
hal penguatan pasar, kegiatan ekonomi digerakkan oleh sector swasta lewat
pasar, sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Ekonomi
kapitalis sangat tergantung dari kelembagaan yang memapankan dan menjamin hak
kepemilikan privat secara sukarela berdasarkan kontrak.
Ekonomi
politik klasik dibangun dengan dua pokok pikiran, yaitu pasar dapat meregulasi
sendiri (self- regulating market) dan eksistensi teori nilai dan distribusi
(value and distribution). Premis self- regulating market merupakan doktrin
tentang ketangguhan pasar dalam mengorganisasi kegiatan atau transaksi ekonomi
yang dipandu oleh sinyal harga dan perilaku mencari keuntungan (profit-seeking
behavior). Sedangkan teori value and
distribution menyatakan bahwa nilai suatu barang atau jasa diturunkan dari
system pembagian kerja, disini harga suatu barang atau jasa dihitung dari
jumlah (jam kerja) tenaga kerja yang digunakan.
Ekonomi
politik dalam pendekatan klasik dimaknai sebagai hubungan di antara dua
kelembagaan, yaitu pasar dan Negara. Ekonomi politik mempercayai bahwa seluruh
kegiatan ekonomi seharusnya dapat diorganisir oleh pasar. Hanya dalam aspek
distribusi pendaatan saja Negara diharapkan kehadirannya karena dalam realitas
soal distribusi pendapatan ini berkait dengan perjuangan kelas.
Watak
dasar dari Ekonomi Politik Klasik adalah memberikan garansi sepenuhnya pada
pasar untuk menggerakkan dan mengartikulasikan kegiatan ekonomi. Peran Negara
dibatasi pada persoalan non-ekonomi. Disini soal distribusi pendapatan pun
dianggap sebagai masalah politik ketimbang ekonomi.
Ekonomi
Politik Neoklasik sendiri tumbuh seiring dengan munculnya marginalist pada era
1780-an. Pusat pemikiran neoklasik adalah menempatkan individu sebagai
“constrained choice”. Inti dari pandangan ini adalah individu merupakan agen
yang memilih, yaitu seseorang yang memutuskan beberapa alternatif dari
tindakannya berdasarkan imajinasi tentang dampak dari keputusan tersebut
terhadap dirinya.
Secara
singkat, Ekonomi Politik Neoklasik sebetulnya bertumpu pada pemahaman tentang
keterbatasan pasar sebagai kelembagaan yang dapat memfasilitasi kepuasan
individu.
Pandangan Adam Smith atas konsep nilai
dibedakan menjadi 2 yaitu nilai pemakaian dan nilai penukaran. Hal ini
menimbulkan paradok nilai, yaitu barang yang mempunyai nilai pemakaian (nilai
guna_ yang sangat tinggi, misalnya air dan udara, tetapi mempunyai nilai
penukaran yang sangat rendah. Malahan boleh dikatakan tidak mempunyai nilai
penukaran. Sedangkan di sisi lain barang yang nilai gunanya sedikit tetapi
dapat memiliki nilai penukaran yang tinggi, seperti berlian. Hal ini baru diselesaikan
oleh ajaran nilai subyektif.
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran
klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki
nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang
tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang
itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo
(1772-1823) juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau
diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya
terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang
kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan
sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut
nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para
calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai
dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang
diperlukan.
David Ricardo (1772-1823) mengemukakan bahwa
berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran nilai kerja:
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2. Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2. Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan
Contoh Kasus Kebijakan Ekonomi Politik Klasik
Misalnya menyangkut pasar bebas yang ada di 4 wilayah ( Batam . Karimun . Natuna Dan Bintan ). Pemerintah memberikan kebesana untuk mengatur sendiri penjualan yang ada didaerah tersebut tanpa ada campur tangan dari pemerintah
Ada lagi misalnya penentuan suku bunga bank Swasta maupun negeri . Pihak Bank bebas menentukan suku Bunganya sendiri tetapi ada margin atau batasan dari Bank Indonesia sehingga suku bunga itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah ini adalah salah satu contoh kebijakan Ekonomi Politik Klasik karena pemerintah tidak turut mencampuri masalah penentuan suku bungan ini.
Ekonomi Politik
EKONOMI POLITIK
Pengertian Ekonomi Politik
Ekonomi dan politik berasal dari bahasa Yunani. Ekonomi berasal dari kata
"oikos" yang berarti aturan dan "nomos" yang berarti rumah
tangga. Sedangkan politik berasal dari kata "polis” yang berarti
negara atau kota. Berdasarkan maknanya yang secara empiris tidaklah sama, namun
dalam perkembangan dunia kedua kata tersebut menjadi hal yang berkaitan dan
saling mempengaruhi. Tindakan politik tidak terbebas dari kepentingan ekonomi
dan sebuah kebijakan ekonomi tidak terlepas pula dari kepentingan politik.
Dengan demikian ekonomi politik dimaksudkan untuk mengungkapkan kondisi di mana produksi atau konsumsi diselenggarakan negara-negara.
Definisi ekonomi polotik menurut Balaam merupakan disiplin
intelektual yang mengkaji hubungan antara ekonomi dan politik. Menurut P.
Todaro, ekonomi politik membahas hubungan politik dan ekonomi dengan tekanan
pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pakar lainnya
menggunakan istilah ekonomi politik untuk merujuk pada masalah yang dihasilkan
oleh interaksi kegiatan ekonomi dan politik. Dengan
demikian ekonomi politik menjelaskan dan mengungkapkan hukum-hukum produksi
kekayaan di tingkat negara dunia.
Ekonomi
Politik menunjukkan dua hal cara pandangnya. Pertama, ekonomi politik (klasik)
berdasar pada sebuah teori yang meletakkan buruh/pekerja sebagai sumber dari
nilai ekonomi. Teori ini (kritik ekonomi yang didasarkan pada profit motive
dari Robertson hingga Marx) telah dibalik dan menyatakan bahwa keuntungan yag
diperoleh berasal dari eksploitasi pekerja. Kesimpulan ini tentu saja tidak
diharapkan oleh pencetus teori ini, terutama Adam Smith dan David Ricardo,
sebagai pembela laissez faire (mekanisme pasar bebas; tentang laisser faire
akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya) dan keuntungan pribadi. Untuk
menunjukkan bahwa di dalam basis nilai-nilai ekonomi yang diproduksi oleh dunia
modern terdapat ekspoloitasi pekerja, merupakan tantangan utama pada legitimasi
system sosio-ekonomi yang didasarkan pada profit motive saat ini. Apa yang
telah dicetuskan Adam Smith dan David Ricardo (teori ekonomi politik klasik)
telah diubah menjadi ilmu ekonomi Alfred Marshall, yang menjadi dasar ekonomi
modern.
Kedua,
ekonomi politik saat ini mengacu pada studi relasi kuasa dan
institusi-institusi dalam masyarakat, dimana mampu mempengaruhi cara
mendapatkan dan menetapkan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Hematnya, studi
tentang ekonomi yang didasarkan pada asumsi: apa yang sedang berlangsung dalam
perekonomian dan pengaruh relasi kuasa sosial. Pada tradisi teoritis, relasi
kuasa ini terjadi di antara Negara-negara atau di antara bagian-bagian
masyarakat itu sendiri. Semenjak kepemilikan menjadi sebuah institusi yang
menciptakan ketidaksetaraan kekuasaan sosial, pasar dan institusi lain menjadi
mutlak politis karena mereka didasarkan pada ketidakseimbangan kekuasaan
sosial.
Dalam
konteks globalisasi saat ini, ekonomi politik memungkinkan kita untuk membedah
relasi kuasa dan institusi-institusi ini, mempelajari pengaruh-pengaruhnya,
mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi, dan memberika
kemungkinan-kemungkinan solusi atas permasalahan yang menumpuk,
alternative-alternatif yang dapat digali atas prinsip-prinsip pasar baik di
tingkat lokal maupun dunia.
Pendekatan dalam Ekonomi Politik
·
Pendekatan Pilihan Publik
Pilihan publik adalah suatu sikap
individu dalam menentukan pilihan mereka secara rasional. Dalam ekonomi politik, analisisnya
tertuju pada aktor. Aktor dianggap sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi dan politik
dan berlandaskan pada asumsi dasar individualisme metodologis, yang menempatkan
sikap rasional idividu di dalam institusi non-pasar.
Namun karena sifatnya yang longitudinal, maka hasil yang
dimunculkan oleh model-model pilihan publik berbeda-beda pada satu negara ke
negara lainnya.
·
Pendekatan Neo-Marxis
Pendekatan neo-marxis dalam ekononomi
politik, menekankan pada sifat holistik yakni analisis secara menyeluruh,
mengenai pentingnya aspek-aspek ekonomi makro dari sistem ekonomi dan sistem
politik.. Selain itu, pendekatan ini memiliki model yang memiliki aspek
komparatif, yakni berusaha membandingkan secara eksplisit.
Pendekatan ini juga menyoroti dan
memodelkan berbagai perbedaan antar-negara di bidang kesejahteraan, pertumbuhan
ekonomi dan ketergantungan kelas sosial di masyarakat.
Faktor-Faktor Ekonomi Politik
Tidak jarang kita pernah mendengar besarnya
pengaruh politik dalam ekonomi, baik dalam institusi politik maupun
kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan publik pemerintah
dibidang industri sangat besar pengaruhnya terhadap perintisan terhadap
perkembangan yang biasa disebut Rostow, tahap tinggal landas, hasil tesis Olson
mengatakan bahwa kepolitikan nasional (Institusioanl sclerosis) di suatu negara menyebabkan merosotnya rata-rata pertumbuhan
ekonomi negara itu.
Kemudian yang menjadi pertanyaan oleh penulis
adalah bagaimana dengan sistem ekonomi yang di bangun di negeri ini? Indonesia
memiliki sumber daya alam yang kaya tapi rakyatnya jauh dari kemapanan, padahal
kekayaan negera dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, dimana
letak kesalahan sistem yang kita bangun? Relatif sulit semua yang di
kelolah pemerintah maju, hampir rata-rata perusahan badan usaha negara
rugi dan sulit untuk berkembang, PLN dan pertamina, krakatau still.
Nasionalisasi perusahaan tidak mampu
menjadikan kita menjadi bangsa yang mandiri, hampir relatif sedikit sekali
badan usaha negara kita yang bisa bertahan lama, entah kapan atau bisa jadi
basok gulung tikar, ini sangat bahaya ketika ini diambil oleh pasar, maka
pengalaman kita ketika menjual indosat, terbukti sekarang pulsa menjadi mahal,
karena harga telah didominasi oleh swasta, negara seakan tidak berdaya dalam
menghadapi ini semua.
Kalau kita komperatifkan dengan Cina misalnya,
sampai sekarang masih banyak perusaahan negara yang bertahan, dan mampu
mensejahterakan rakyatnya. Indonesia kalau kita lihat secara sepintas sedang
menuju neo liberalisme yang tidak lagi terkontrol, Perguruan tinggi juga tidak
terlepas dari produk neo-liberalisme.
Sekedar mencontohkan kepentingan atau magnet
politik lebih kuat dari magnet ekonomi itu sendiri, artinya ekonomi kerakyatan
tersandera oleh politik. Yang membuat RUU migas misalnya di buat oleh Usaid atau bule-bule asing bersama
LSM, dari pihak asing dititipkan kata-kata dibeli untuk kepentingan usaha atau
bisnis mereka, berkembangnya perusahaan asing di Indoensia tentu akan
merugikan dan berbahaya terhadap migas di negeri ini.
Langganan:
Postingan (Atom)