Sabtu, 25 April 2015

EKONOMI POLITIK PRIVATISASI


Perubahan paradigma pemerintahan pada dewasa ini terutama dalam hal penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan yang berpandangan pada konsep dan teori reinventing government (David Osborne dan Ted Gabler, 1992) dan banishing beaucracy (David Osborne dan Peter Plastrik, 1997) memungkinkan adanya kreativitas dan inovasi dalam kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan aset-aset nasional dan daerah. Perusahaan-perusahaan nasional maupun daerah diarahkan menuju efisiensi, profesionalitas, berdaya saing tinggi, bertaraf internasional dan profit oriented
Upaya menuju ke arah proses tersebut sudah bukan merupakan wacana lagi, tetapi sudah digulirkan oleh pemerintahan saat ini. Alasan yang mendasari tentu adalah perubahan kondisi perekonomian saat ini yang masih belum juga beranjak dari kondisi keterpurukan Indonesia dalam bidang perekonomian di dunia internasional. Salah satu kebijakan dalam upaya menuju ke arah proses perubahan sektor perekonomian tersebut adalah kebijakan privatisasi.
Pemahaman sejarah dan alasan ekonomi privatisasi diperlukan untuk membangun persepsi yang sama antarstakeholders dalam proses pembangunan. Hal tersebut berguna untuk menghindari kesalahpahaman tentang arti dan tujuan privatisasi. Hubungannya dengan pembangunan, privatisasi dapat menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan nasional Meningkatnya pendapatan nasional dan daerah, serta kesejahteraan masyarakat akan bertumpu pada keberhasilan program kebijakan privatisasi yang tentu saja bukan program privatisasi yang penting untung sesaat dengan menjual aset-aset negara.
Pembentukan perusahaan negara pada dasarnya memiliki dua tujuan, yakni tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Secara ekonomi perusahaan negara bertujuan untuk menjamin sektor-sektor strategis agar tidak jatuh ke tangan yang salah sehingga akan merugikan kepentingan masyarakat (Purwoko, 2002). Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat, yakni dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah (murah, selalu tersedia, tanpa adanya manipulasi harga, dan sebagainya). Sudah barang tentu, pendapatan bagi negara juga merupakan tujuan ekonomis suatu perusahaan negara. Sebagai tujuan sosial, keberadaan perusahaan negara berarti membuka peluang kerja bagi masyarakat. 
Dalam prakteknya, dari waktu ke waktu perusahaan negara menghadapi kesulitan dalam mencapai tujuan pembentukannya. Tekanan terhadap kas negara memaksa pemerintah untuk berpikir ulang mengenai eksistensi perusahaan milik negara. Inefisiensi manajemen perusahaan negara sudah sangat dikenal secara luas, sehingga akhirnya memberatkan anggaran negara. Alasan-alasan tersebut menjadi dasar, mengapa negara ingin melakukan privatisasi terhadap perusahaan negara atau tugas-tugasnya. Sedangkan di negara sedang berkembang dan belum berkembang, privatisasi sangat sering menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman luar negeri (Purwoko, 2002).
Sejarah privatisasi mempengaruhi alasan ekonomi suatu negara melakukan kebijakan privatisasi. Negara berkembang seperti Indonesia turut mengadopsi agenda neoliberal dalam globalisasi ekonomi. Persepsi alasan yang berbeda membawa dampak hilangnya kekuasaan pengelolaan aset-aset bangsa yang sebetulnya masih bisa dikelola secara lebih profesional dan membiarkan perusahaan nasional berkembang secara kompetitif serta lepas dari pengaruh intervensi kekuasaan dan politik. Alasan yang berkembang karena tuntutan untuk memperbaiki defisit anggaran negara yang diakibatkan krisis ekonomi, serta desakan negara-negara kreditor (terutama G-7) dan Internasional Financial Institutiona (IFIs) seperti IMF dan Bank Dunia perlahan-lahan mulai mendesakkan agenda privatisasi kepada negara-negara miskin seperti Indonesia, jika ingin memperoleh hutang dari mereka (Amien Rais, 2008). Pada akhirnya penyimpangan privatisasi terhadap aset-aset negara baik pusat maupun daerah mungkin sekali dapat terjadi, dengan berbagai kepentingan, dalih, dan persepsi terhadap aturan-aturan yang ada. Oleh karena itu kebijakan privatisasi perlu dikontrol dengan mengedepankan prinsip dasar filosofi Bangsa Indonesia yang tertera jelas dalam Pancasila, guna mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, bermartabat, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta adalah fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut. Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia, akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu yang sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi program yang begitu dikampanyekan dengan massif?
Privatisasi: desakan negara-negara maju
IMF dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat berkepentingan dalam mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan privatisasi. Maka, dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan finansial kepada negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa untuk memasukkan persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh pemerintah.

Kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap ekonomi neo-liberal yang dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial, ekonomi, politik negara maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju, privatisasi berjalan mulus atas kontrol negara yang ketat kepada swasta. Sementara di negara berkembang, jika mengikuti persyaratan lembaga internasional untuk melepaskan kontrol negara terhadap layanan publik, justru akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini disebabkan masih lemahnya fungsi regulasi  pendukung iklim kompetisi dan aturan main yang jelas tentang privatisasi.

Privatisasi segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang tajam dari beragam elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja yang tersedia; ketiga, absennya aturan main yang mengatur privatisasi, sehingga privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pasar daripada pelayanan sosial; keempat,hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru dalam tata kelola aset-aset negara.  

Privatisasi di Indonesia
Di Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur pemerintah tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika sebagian besar saham  PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan Sues Lyonnaise. Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum Pendidikan tahun 2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan pada Oktober 1994.

Secara umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah semakin mahalnya dan susahnya masyarakat menjangkau akses kesehatan, air, pendidikan dan lain-lain. Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari kewajibannya menyejahterakan rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya kepada pasar, yang notabene berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?


EKONOMI POLITIK ERA GLOBALISASI


Gejala globalisasi terjadi pada kegiatan finansial, produksi, investasi perdagangan yang kelak berpengaruh pada hubungan antar bangsa dan hubungan antar individu dalam segala aspek kehidupan. Hubungan antar bangsa menjadi lebih saling tergantung  yang bahkan menjadikan ekonomi dunia menjadi satu sehinga seolah-olah batas antar negara dalam kegiatan perdagangan, bisnis tidak ada lagi.
                Pada umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan langkah penyesuaian baik dalam wilayah regional maupun masing individu negara yang kecenderungannya mengarah kepada proteksionisme. Hal terlihat jelas dengan munculnya blok blok perdagangan yang pada intinya justru melanggar  kesepakatan yang dituangkan dalam WTO.
                Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya  batas-batas investasi  atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal ini disebabkan oleh : (Halwani, 2005 : 194)
1.      Komunikasi dan tranportasi yang semakin canggih,
2.      Lalu lintas devisa yang makin bebas,
3.      Ekononomi negara yang makin terbuka,
4.      Penggunaan secara keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara,
5.      Metode produksi dan perakitan dengan organisasi yang makin efisien,
6.      Semakin pesatnya perkembangan  perusahaan multinasional (MNC) di hampir segala penjuru dunia.
Steiner (1997) menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan global. Pertama, produk nasional kotor (GNP) tumbuh dan meningkat dengan cepat, terutama di negara-negara maju. Kedua, revolusi dalam teknologi komunikasi. Ketiga, kekuatan-kekuatan yang mempermudah  munculnya perusahaan besar berskala  global.

 Peran Negara Bangsa Dalam Era Global
                Robert Gilpin , salah satu tokoh realis menyatakan, peran negara bangsa (nation state)  dalam era globalisasi sekarang ini masih sangat diperlukan (signifikan). Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut pendukung globalisasi dan pasar bebas . Menurut Gilpin banyak peneliti mempunyai keyakinan bahwa tengah terjadi pergeseran besar dari ekonomi state dominated ke arh ekonomi market dominated. Hancurnya Uni Soviet, kegagalan strategi subtitusi impor  negara dunia ketiga, dan suksesnya AS pada era 1990 an telah mendoring penerimaan unrestricted market sebagai solusi bagi penyakit ekonomi modern. Karena peran negara  menjadi berkurang sebagai gantinya pasar akan menjadi mekanisme  penting baik untuk perekonomian domestik maupun perekonomian internasional. Menurutnya peran negara bangsa diyakini akan menjadi pembuka kearah ekonomi global yang sesungguhnya , yang dicirikan oleh tiadanya hambatan dalam perdagangan , aliran uang dalam skala global dan kegiatan internasional perusahaan multinasional (Gilpin, dalam Winarno, 2005)
                Namun fakta regionalisme ekonomi diberbagai belahan dunia membuktikan bahwa peran negara bangsa masih relevan. Regionalisme ini menunjukkan respon penting dari negara bangsa dalam menyelesaikan  secara bersama-sama masalah politik dan interdependensi yang tinggi dari ekonomi global yang hypercompetitive.Dibanding regionalisme pada tahun 1950 an dan 1960 an , bentuk reginalisme baru ini lebih signifikan dalam ekonomi global. Kadangkala regionalisme ekonomi ini mewakili  kepentingan individual negara bangsa baik untuk kepentingan mereka di level nasional maupun kolektif.
                Karena ekonomi global  semakin terintegrasi, pengelompokan  regional  negara bangsa telah meningkatkan kerjasama dalam rangka memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar, dan memperjuangkan kepentingan ekonomi politik lainnnya. Dimasa sekarang ini peran negara bangsa justru dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan neoliberal . Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dihilangkan tanpa adanya dukungan kebijakan yang pada gilirannya  makin menunjukkan peran negara bangsa makin diperlukan dalam perekonomian global.

1. Tingkatan Globalisasi
                Menurut  Susan dan Strange (Halwani, 2005:197) globalisasi terjadi pada berbagai tingkatan. Pertama, dengan mengacu pada gagasan sejarawan Perancis, Fernand Braudel, globalisasi terjadi pada tingkat material life, yang dimaksud adalah terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsun gan dan kenikmatan hidup. Produksi barang dan jasa itu beroritentasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas pasar nasional saja.
                Kedua, globalisasi juga terjadi pada struktur keuangan, pembiayaan proses produksi lewat  kegiatan investasi kian membutuhkan ruang yang bersifat global sehingga ada kecenderungan teritoral state tidak lagi menjadi space yang relevan dan memadai bagi strategi investasi. Selain itu ada ledakan pertumbuhan transaksi  keuangan internasional. Salah satu indikator dari globalisasi  keuangan ini adalah tingkat pertumbuhan yang jauh lebih cepat dari perdagangan uang asing setiap harinya dibanding dengan total ekspor dunia. Lairson dan Skidmore (2000) menunjukkan pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1, tahun 1995 rasionya 81:1 maka pada tahun telah menjadi 107 :1.
                Ketiga, globalisasi terjadi pada tingkatan persepsi, keyakinan, gagasan dan selera. Nilai-nilai seperti demokratisasi, perlindungan HAM, pelestarian lingkungan hidup telah menjadi isu-isu global. Salah satu contoh yang merepotkan negara sedang berkembang dari segi penanganan HAM  adalah prinsip humanitarian  intervention yang dilakukan PBB atas nama dunia internasional, dimana saja ada pelanggaran HAM berskala besar yang selalu dikaitkan dengan embargo ekonomi. Sedangkan keputusan ini banyak dilakukan oleh negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB.

2.  Sudut Pandang Terhadap Globalisasi
                David Held at.al,(1999) membagi pendapat para pakar dalam memandang dan menyikapi globalisasi dalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok skeptis dan kelompok transformationalis. Bagi kelompok hiperglobalis pengertian globalisasi  adalah sejarah baru  kehidupan manusia dimana negara  tradisional telah menjadi tidak relevan lagi, lebih-lebih menjadi tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global.  Kelompok ini percaya globalisasi ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi” ekonomi melalui pendirian jaringan jaringan  produksi trasnasional (transnasional  networks) , perdagangan, dan keuangan. Dalam dunia yang “ borderless ” peran pemerintah tidak lebih seperti transmission belts bagi kapital global. Lebih lanjut kelompok ini percaya globalisasi ekonomi tengah membangun bentuk baru organisasi social yang tengah menggantikan atau akhirnya akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai lembaga ekonomi utama dan unit politik dari masyarakat dunia.
                Kenichi Ohmae sebagai pendukung hiperglobalis dalam buku The End  of nation State (1995) yang sering dijadikan manifesto  hiperglobalis, berargumen bahwa setidaknya ada empat faktor yang membuat peran negara bangsa di era “dunia tanpa batas negara“ (a world without borders) makin menipis.Negara bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa  batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan  ambisi mereka. Empat faktor tersebut oleh Ohmae disebut sebagai empat I (investment, industry, information technology dan individual). Investasi sebagai I yang pertama adalah pasar modal di negara maju yang dibanjiri uang tunai untuk invesasi, karena peluang investasi tidak selalu ada maka pasar  modal mengembangkan berbagai mekanisme uintuk mentranfer dana keuangan itu melintasi batas-batas nasional. Dengan kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan aliran dana ini menyebar dengan cepat keseluruh penjuru dunia. Namun investasi ini juga menimbulkan dampak  buruk bagi negara bangsa yang struktur ekonomi dan keuangannya rapuh. Kasus Asia Timur, dan Asia Tenggara adalah contoh yang jelas akibat globalisasi keuangan ini.
                Industri yang merupakan I ke dua, adalah industri yang mempunyai orientasi global dibanding sepuluh tahun lalu. Strategi perusahaan TNC dan MNC tidak lagi dikendalikan oleh alasan negara namun lebih pada keinginan  dan kebutuhan melayani dan mencari sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia.
                Pergerakan investasi dan industri keseluruh dunia tidak lepas berkat kemajuan I yang ketiga yaitu information technology. Juga ditambah dengan makin murahnya tranportasi menyebabkan perusahaan  transnasional dan aliran modal global makin gampang  bergerak ke seluruh dunia. Teknologi informasi pulalah yang menyebabkan  integrasi, interdependensi dan interlink  semua aspek kehidupan baik itu budaya, ekonomi  dan politik sehingga terciptalah globalisasi budaya, globalisasi ekonomi dan globalisasi politik.
                Individual sebagai I keempat, menunjukkan individu di seluruh dunia makin berorientasi global. Teknologi informasi memungkinkan individu melihat, membeli dan berperilaku seperti dilakukan dibelahan dunia lain. Hal ini terutama terlihat pada gaya hidup yang banyak meniru perilaku individu di negara maju. Konsumen makin menginginkan produk berkualitas, murah tanpa menghiraukan darimana produk tersebut berasal. Fenomena  ini dikenal sebagai international demonstration effect.
                Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini disebut sebagai kelompok skeptis terhadap globalisasi. Hirst dan Thompson sebagai pendukung kelompok skeptis, menyerang tesis hiperglobalis yang menganggap remeh peran kekuasaan pemerintahan nasional dalam mengatur  kegiatan ekonomi internasional. Bahkan Hirst dan Thompson  menganggap globalisasi adalah mitos belaka. Kelompok skeptis ini berpendapat bahwa kekuatan global itu sendiri sangat tergantung pada kekuasaan  mengatur pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa sebenarnya proses globalisasi hanya berlangsung di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa. Sedangkan kekuatan regionalisme menjadi satu ciri yang menunjukkan peran negara bangsa.
                Kelompok ketiga ini terletak diantara pandangan ekstrim hiperglobalis dan skeptis, kelompok ini dikenal dengan nama transformasionalis. Kelompok ini berkeyakinan bahwa pada permulaan  milineum baru, globalisasi adalah kekuatan utama  dibalik perubahan sosial, ekonomi dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat masyarakat modern dan tantanan dunia (world order). Penganut kelompok ini meyakini proses globalisasi yang tengah berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak lama lagi perbedaan antara  internasional dan domestik, hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Meskipun mereka juga mengakui bahwa proses globalisasi mempunyai akar sejarah yang panjang.
                Mengenai peran negara bangsa, kelompok tranformasionalis berpendapat bahwa  globalisasi yang tengah berlangsung saat ini sedang mengatur kembali kekuasaan, fungsi dan otoritas pemerintahan nasional. Peran negara harus disejajarkan  dalam berbagai tingkat dengan perluasan yurisdiksi lembaga pengaturan internasional sebagai mana kewajiban yang berasal dari hukum internasional. Artinya peran negara bangsa sejajar dengan lembaga internasional dan perusahaaan transnasional.
                David Held dalam buku Global Tranformation (2000) sebagai kelompok tranformatif ini menyatakan bahwa globalisasi masa lampau dengan sekarang berbeda jauh karena tiga hal yaitu ; velocity, intensity dan extensity. Karena tiga hal tersebut globalisasi sekarang menimbulkan  dampak dahsyat dibanding globalisasi sebelumnya. Namun bukan berarti telah melabrak segala sesuatunya hingga hilang, budaya lokal dan negara bangsa (nation state)  tetap ada.


 MODEL-MODEL DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
                Terlepas dari suka atau tidak suka, proses globalisasi meskipun belum jelas tipe idealnya terus terlanjut karena kekuatan-keuatan internal (pasar, informasi, teknologi dan kontrol) Namun untuk kepentingan ilmu ekonomi dan ilmu pengetahuan pada umumnya bentuk masa depan sistem ekonomi internasional atau system ekonomi global tetap penting untuk dipetakan. Hirst dan Thompson (1996) mengajukan dua model ideal, yaitu : 1) ekonomi internasional yang terbuka (an open international economy) dan 2) ekonomi global purna ( a fully globalized economy)
Model I: Ekonomi internasional
Model pertama ini merupakan system ekonomi yang masih bercirikan ekonomi nasional masing-masing negara. Hubungan perdagangan dan investasi antar bangsa tidak serta merta menhilangkan identitas  sistem ekonomi nasional, tapi lebih merupakan dinamika  hubungan keluar (outward looking) dari masing-masing pelaku. Meskipun demikian, hubungan intensif dalam uda bidang tersebut terus membawa pelaku-pelaku ekonomi nasional berintegrasi ke pasar internasional. Pemisahan  identitas dan kebijakan pada dua level (nasional dan internasional) masih tetap terlihat dengan jelas.
                Sistem ekonomi internasional juga ditandai oleh bangkitnya perusahaan multinasional (MNC, Multi National Corporation). Meskipun demikian MNC masih bias diidentifikasikan basis negaranya dan tetap mengikuti tata aturan dan kebijakan  nasional masing-masing. Ekonomi internasional sekarang memang diarahkan lebih terbuka, diikuti oleh kebangkitan lembaga-lembaga seperti WTO/GATT, APEC dan lain sebagainya. Lembaga ini dibuat untuk menjaga keterbukaan ekonomi negara anggotanya  meskipun pada kenyataannya negara  maju lebih banyak diuntungkan. Sistem ekonomi internasional semakin intensif berinteraksi satu sama lain pada akhir abad ke-20 ketika revolusi teknologi komunikasi dan informasi muncul.
Model II : Ekonomi Global (globalized economy)
                Model kedua ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari model pertama dimana ekonomi internasional hanya merupakan bagian integral dari segenap proses, transaksi dan perkembangan global. Ekonomi global tercipta dan saling berinteraksinya ekonomi nasional mengarah ke bentuk kekuatan baru. Dengan demikian kebijakan pada tingkat nasional maupun kebijakan bisnis pada tingkat perusahaan  tidak lain  sebagai perwujudan  dan penyatuan kekuatan-kekuatan pasar global. Kebijakan, kegiatan dan interaksi pada tingkat nasional  diintegrasikan ketingkat global.
                Meskipun demikian kegiatan dan sistem ekonomi yang mengglobal membawa persoalan : “Bagaimana dengan institusi  pemerintah pada tingkat yang sama (internasional), yang menyertai institusi  pasar global ?” Masalah ini merupakan isu krusial karena tanpa mekanisme pemerintahan, institusi pasar akan berkembang pada tatanan yang amat riskan, tidak adil, mendekati hukum rimba dan tidak akan mampu mengakomodasikan nilai moral dan etika.
Dalam model ekonomi global, institusi negara dalam bentuk governance pada tingkat internasional tidak bisa hadir dengan sendirinya tanpa konsensus  kolektif negara anggotanya. Institusi pada tingkat inilah yang tidak berkembang dengan baik, terbukti dengan krisis yang terjadi sejak tahun 1930an (depresi), tahun 1970-an (krisis minyak), sampai akhir 1990-an (krisis mata uang di Asia), menunjukkan  berperannya institusi governance pada tingkat internasional.

DAMPAK EKONOMI GLOBAL.
William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Maniac Global Capitalism (1998) melontarkan tesisnya bahwa motor dibalik globalisisme adalah ” kapitalisme global ”. Sesuai dengan watak  dari kapitalisme yang rakus dan tidak pernah puas, mereka beramai-ramai menguras kekayaan dunia, masuk ke kantong mereka dnegan memanfaatkan teknologi komputer, mengabaikan kesantunan hidup bersama.Memang  kapitalisme global telah memberikan kenyamanan dan kemudahan namun hanya dinikmati 10 % penduduk dunia. Sementara jurang antara kaya dan miskin (istilah baru, digital devide) menjadi kian menganga. Kapitalis global ini terdiri atas spekulan uang yang jumlahnya tidak lebih dari 200.000 orang (termasuk George Soros yang paling terkenal) dan 53.000 MNC yang hanya memperkerjakan 6.000.000 orang di seluruh dunia.Juga institusi seperti IMF, World Bank, WTO. Lembaga-tersebut telah secara langsung maupun tidak langsung membantu liberalisasi ekonomi keseluruh dunia, dimana tahun 1970 an pasar dunia masih merupakan pasar tertutup. (Halwani,2005:201)
Dampak utama yang muncul akibal globalisasi ekonomi adalah  bagaimana mengatur ekonomi global itu. Pasar global  yang terlepas dari konteks sosialnya sulit sekali diatur sekalipun  taruhlah ada kerja sama yang efektif antara pihak yang berwenang mengatur ekonomi dan kepentingan mereka sejalan. Kesulitan utama adalah bagaimana menyusun pola kebijakan nasonal dan internasional yang efektif dan terintegrasi guna menghadapi kekuatan-kekuatan pasar global. Ketergantungan sistematik antara  negara dan pasar sama sekali tidak harus berarti akan  tercipta secara otomatis integrasi harmonis  yang memberikan manfaat pada konsumen dunia, karena pasar global benar-benar bebas dan efisien dalam membagikan sumber dan daya produksinya.
Dampak utama kedua adalah pelaku ekonomi yang banyak berperan dalam model ekonomi global ini adalah perusahaan besar MNC (multi national corporation)   dan akan berubah menjadi TNC (trans national corporation). TNC bercirikan murni modal yang bebas mengalir kemana saja (footloose investment) juga industri yang gampang pindah lokasi (footloose industry) tanpa kedudukan nasional, dengan pengelolaan manajemen internasional, dan bersedia beroperasi dimana saja untuk mencari laba sebesar-besarnya. Di sektor keuangan  hal ini dapat dicapai dengan mudah, cukup dengan menekan tombol komputer  maka lalu lintas modal akan berpindah ke belahan dunia manapun tanpa terpengaruh campur tangan kebijakan moneter nasional sedikitpun.
                Dampak globalisasi yang terakhir  dan tidak dapat terelakan adalah bahwa dalam sistem politik internasional muncul  pusat-pusat kekuatan baru. Negara yang selama ini memegang  kekuasaan hegemoni di dunia tidak dapat lagi memaksakan tujuan kebijakannya sendiri, baik di dalam wilayahnya maupun di tempat lain,sementara lembaga lain (swasta maupun pemerintah) yang selama ini lemah  sekarang akan lebih  kuat. Berbagai lembaga, dari lembaga sukarela internasional hingga perusahaan TNC, menikmati kekuasaan yang lebih besar  sementara wibawa pemerintah nasional makin turun. Lembaga-lembaga ini dengan menggunakan pasar global dan media global, memperoleh legitimasi  dari konsumen dan warga lintas batas.
1. Janji janji Globalisasi
                Dampak positif  yang dijanjikan globalisasi  sangat banyak (Deliarnov, 2006 : 203). Selain menjanjikan  memperlancar arus tranportasi dan informnasi;  memberikan akses dan alih pengetahuan; memperpanjang usia harapan hidup; melayani masyarakat lebih baik lagi; meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan ekspor; membuat harga lebih murah; meningkatkan standard hidup; mengurangi kemiskinan; mengurangi ekploitasi  terhadap tenaga kerja wanita dan anak-anak. Selain daftar kehebatan di atas, globalisasi juga dipandang sebagai  salah satu pendorong lahirnya lembaga  atau badan  yang memberikan  banyak bantuan modal (World Bank dan IMF), lembaga yang merupakan wadah pasar bebas (WTO), institusi intergovernmental untuk bantuan perdamaian (PBB); perburuhan (ILO); pendidikan (UNICEF); kesehatan (WHO) dan juga lembaga bantuan sosialm (Palang Merah Internasional).
Bahwa globalisasi akan membantu negara-negara sedang berkembang  meningkatkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga  murah. Hal ini juga cuma janji kosong, karena pada kenyataannya negara sedang berkembang justru berhadapan dengan produk dari negara maju yang lebih berkualitas dan harga yang lebih murah. Sedangkan produk negara sedang berkembang sulit masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan berbagai cara.
                Globalisasi akan menciptakan lapangan kerja. Hal ini memang tujuan utama didirikannya IMF ; Bank Dunia GATT seperti disarankan oleh JM Keynes, yakni untuk mengatasi kegagalan pasar dan mendorong peran pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain, justru munculnya TNCs di negara berkembang menimbulkan pengangguran karena biasanya bisnisnya bersifat capital intensive dan high technology. Menurut Susan George, 200 TNCs terbesar menguasai 25 % kekayaan dunia, tapi tidak banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan 6000 TNCs yang menguasai sepertiga  perdagangan dunia hanya mampu menyerap kurang dari 1 % tenaga kerja dunia.
                Globalisasi juga dikatakan akan mengurangi eksploitasi terhadap tenaga kerja perempuan dan anak-anak. Dalam prakteknya malah menunjukkan  telah terjadi “feminisasi” tenaga kerja, yakni dominannya tenaga kerja perempuan disektor industri dengan upah yang rendah. Bahkan sebagian migran perempuan dari desa-desa itu terjebak trafficking (perdagangan perempuan antar negara).
2. Dampak Globalisasi Ekonomi Terhadap Indonesia.
                Sejak tahun 1993, OECD sudah memberi sinyal Indonesia akan dirugikan dengan berlakunya liberalisasi perdagangan internasional. Akan tetapi Soeharto sebagai penguasa Orde Baru yakin sekali dengan prakarsa perdagangan bebas. Akhirnya yang terjadi adalah ramalan OECD tersebut terbukti, yakni Indonesia justru menghadapi persaingan baru dari negara-negara maju yang mampu menghasilkan produk dengan kualitas baik dan harga bersaing, sedang produk Indonesia sulit masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan pencabutan fasilitas kemudahan ekspor yang bernama Generalized System of Preference. GSP ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh Departemen Perdagangan AS kepada sejumlah negara untuk mengurangi dan menghilangkan pajak impor bagi negara yang dianggap berdagang secara “sehat“ dengan AS.
                Sejak peristiwa WTC 11 September 2001, AS khususnya melakukan proteksi yang dikemas dengan istilah undang-undang bio-terrorism, iso-labeling, eco-labeling, ditambah embargo ekonomi dan sangsi ekonomi. Peristiwa Santa Cruz di Timor Timur (waktu itu) membuat Indonesia diembargo dalam pengadaan alat militer dan juga perdagangan ekspor Indonesia ke AS.  Tekanan paling keras dilakukan AS terhadap negara industri baru di Asia Timur termasuk Indonesia. Hal ini dilakukan oleh AS guna menyeimbangkan neraca perdagangan As yang merosot pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian nasional karena masuknya produk asing, embargo, dan proteksi negara tujuan ekspor khususnya AS menjadikan daya saing produk domestik lemah dan munculnya efek domino karena tutupnya sejumlah industri, yaitu PHK dan pengangguran.
                Perluasan ekspor Indonesia terasa makin berat sejak dicabutnya GSP tahun 2005 belum lagi halangan masuk (entry barrier) yang sengaja diciptakan oleh negara maju. Sehingga ekspor tekstil Indonesia tidak memiliki kuota untuk masuk pasar AS. Didalam negeri gempuran produk China terus-menerus terjadi, sehingga beberapa industri domestik rontok dan merumahkan karyawannya.
Globalisasi bukan hanya menggempur pelaku ekonomi di negara sedang berkembang. Globalisasi mampu mengendalikan demokrasi bahkan bertindak lebih jauh dengan mendikte  apa yang harus dilakukan pemenang pemilu yang diselenggarakan secara demokratis sekalipun.  Rakyat memang menentukan siapa yang menang dalam pemilihan umum. Namun siapa yang akan duduk di kabinet bisa ditentukan oleh konstituen pasar  yang berada di sentra finansial global.

Di pasar global Indonesia tidak menghadapi persaingan biasa yang hanya menggantungkan diri pada mekanisme pasar, tetapi Indonesia menghadapi kekuatan yang terpola. Kekuatan ini bisa berbentuk TNCs, MNCs, pemerintahan negara kaya, lembaga dunia seperti IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia saat ini berada dalam jebakan “perang modern” yang dimulai dari krisis moneter 1997/1998. (Deliarnov, 2006).

EKONOMI POLITIK MARXIAN



A. PENDAHULUAN
Ekonomi Politik Marxis, bersumber pada ajaran-akaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang dikemukakan oleh Adam Smith dan David Ricardo. Berpegangan terhadap teori tersebut dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil menyelidiki “hukum gerak ekonomi masyarakat modern”, Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi baru pertama teori ekonomi Marx yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan dan bahwa mau tidak mau system kapitalisme harus menyingkir dan digantikan oleh sistem sosialis.
Ekonomi Politik Marxian merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme). Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut diyakini oleh Marx sangat di ekploitatif karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapab dengan pemilik modal. Hal ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-pranata factor produksi selalu terlambat dari percepatan inovasi produksi (teknologi). Dalam terminology ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah kelembagaan yang mengatur antara interaksi antara pemilik modal, tanah, dan tenaga kerja
Persoalan yang mengemuka adalah ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi) sealu tidak diikuti dengan penataan suprastruktur (faktor-faktor produksi) dan itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.

B. PRINSIP-PRINSIP
Berdasarkan kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-faktor produksi di bawah kontrol Negara. Keputusan produksi dan investasi tidak dilakukan melalui pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi berdasarkan perencanaan terpusat. Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai ekonomi serba Negara. Negara bukan sekedar sebagai agen yang mengalokasikan dan memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi itu sendiri.
Sistem ekonomi sosialis hanya berdasarkan dua prinsip yaitu :
1.       Negara menyiapkan seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti investasi, dari mulai proses perencanaan, operasional, pengawasan, sampai ke evaluasi. Pada level ini fungsi Negara merancang sistem kepemilikan, proses transaksi, dan pembagian keuntunga berbasiskan instrument Negara. Jadi, dalam kasus hak kepemilikan, Negara bukan hanya mengontrol, tetapi juga menguasai hak kepemilikan.
2.       Pelaku ekonomi tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku ekonomi membuat kontak dengan Negara sesuai dengan aturan yang telah di tetapkan.
Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan akan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi. Akan tetapi, dalam operasionalnya EPM lebih rumit dari sekadar deskripsi diatas.
                Konflik kepentingan itu sebetulnya secara singkat menghadapkan antara kepentingan kelas pekerja dan pemilik modal. Disatu sisi, Marx memberikan latar belakang bahwa kelas pekerja hanya menerima imbalan pada level “subsisten” dari kegiatan ekonomi. Sebaliknya, kelas pemilik modal meraup sebuah profit yang dihasilkan oleh kelas pekerja. Dalam operasionalisasi perusahaan, pemilik modal meminta buruh bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih efisien sehingga menghasilkan laba yang tinggi, tetapi upah buruh tetap pada level subsisten. Situasi inilah yang kemudian memunculkan kesadaran bersama pada kalangan kelas pekerja dan ini menjadi syarat penting bagi tindakan politik. Oleh karena itu, makna EPM adalah tindakan politik sebagai respons atas keterjepitan kelas pekerja dalam proses produksi. Dengan begitu, kesadaran revolusioner dari kelas pekerja dipicu dari system produksi yang menempatkan kelas pekerja sebagai korban.
Agenda politik dari EPM sendiri dapat dipilah menjadi agenda politik dua jenis. Pertama, melakukan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan Negara. Model ini akan terjadi bila masyarakat telah terpolarisasi, konsentrasi modal kian kasat mata, pengangguran semakin membengkak, dan upah yang kian menurun. Kedua, agenda ekonomi politik dikerjakan lewat cara yang lebih lunak, yakni pekerja berpartisipasi dalam kelompik-kelompok kepentingan, partai politik, atau mengikuti pemilihan legislatif.
Tujuan dari model ini adalah kelompok buruh dapat mengakses institusi politik sehingga turut dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan. Model ini berbeda dengan yang pertama adalah hal caranya yang memilih jalur damai ketimbang kekerasan.
                Pada akhirnya, jika lembaga Negara dapat dimasuki oleh kaum pekerja, maka isu-isu semacam peningkatan upah, keamanan kerja, uang pensiun, dan pengawasan kerja bisa lebih memihak kepentingan buruh atau pekerja.


EKONOMI POLITIK KEYNESIAN

EKONOMI POLITIK KEYNESIAN
Teori keynesian ini berusaha mengkritik tentang konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunakan oleh para pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Dalam pandangan klasik dan neo mereka lebih beranggapan dan menempatkan pada regulasi pasar mandiri. Pada penganut mahzab Keynesian beranggapan bahwa ketiadaan regulasi pasar yang diciptakan oleh negara pasti menyebabkan terjadinya eksploitasi terhadap sumber daya produktif masyarakat tertentu. Berpijak pada hal inilah maka keynesian berpandangan bahwa dalam derajat tertentu menhendaki adanya peran negara dalam aktifitas ekonomi (Erani:31).
Namun dalam pandangan keynesian ini peran negara dalam mencampuri aktifitas ekonomi dibatasi dalam hal ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan dalam. Oleh karena itu selama mekanisme pasar masih normal peran negara dalam mencampuri aktifitas ekonomi tidak diperbolehkan. Bagi keynes, dalam mekanisme pasar diyakini akan terjadi kegagalan pembelian. Dengan membiarkan terus aktifitas produksi secara bebas akan menciptakan penawaran produk yang berlimpah, sehingga terjadi akumulasi penawaran (Caporaso:237). Pada sisi lain, dengan terus mendorong aktifitas produksi mengakibatkan daya beli masyarakat tidak kunjung meningkat. Namun dalam hal ini keynes sangat berbeda pandangan dengan Adam Smith dimana Adam Smith sangat anti dengan campur tangan pemerintah (Deliarnov:31).
Dalam pandangan ini, kontribusi yang paling penting dari keynes bagi ekonomi politik adalah pembuktian yang ia buat bahwa mekanisme penyesuaian diri dalam perekonomian pasar (regulasi yang dilakukan pasar terhadap dirinya sendiri) memiliki beberapa keterbatasan. Dengan kata lain, perekonomian pasar pada dasarnya tidak mampu memanfaatkan keseluruhan potensi produksi yang ada dalam masyarakat. Seringkali pasar kurang berhasil dalam mempertemukan antara pemasok dengan pembeli (Caporaso:237). Model yang dibuat keynes untuk menjelaskan fenomena pengangguran menunjukan bahwa mekanisme koreksi diri dalam pasar ternyata bisa tidak berfungsi. Perubahan terhadap penilaian kolektif mengenai kemampuan pasar untuk mengatur dirinya sendiri menghasilkan beberapa masalah penting dalam agenda politik. Salah satu agenda yang terpenting adalah peran dalam pemerintah untuk menjamin nafkah warga masyarakat dan menjamin adanya investasi dalam masyarakat. Kritik keynesian menunjukan bagaimana pengorganisasian pasar tenaga kerja dan pasar kapital menimbulkan persaingan dalam pasar-pasar itu.
Dengan demikian, dari keseluruhan deskriptif diatas bisa dirunut dengan sebuah narasi bahwa keynesian berpandangan bahwa fungsi negara diperlukan untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi akibat rendahnya agregat permintaan (under consumtion) bagi keynes, jika negara dibiarkan “diam” maka selamanya resesi secara periodik akan muncul, karena persoalan rendahnya agregat permintaan tersebut bersifat sistematis. Pemikiran ini dengan terang memberikan ilustrasi, bahwa negara dalam moment-moment tertentu harus bertindak untuk mengatasi kegagalan pasar (Erani:37). Tujuan dari tindakan ini untuk memulihkan kembali aktifitas ekonomi sehingga tingkat kehidupan dan kesejahteraan rakyat dapat terus berlangsung, yang dalam keadaan normal sebenarnya sudah terbiasa dijalankan oleh pasar. Intervensi pemerintah lebih banyak dipakai untuk stabilisasi ekonomi dengan berkutat pada area berikut, yakni memanipulasi permintaan agregat, memperkuat sektor keuangan, dan stabilisasi harga. Sebagian besar hal itu dilakukan dengan memanfaatkan kebijakan fiskal pemerintah.
Dalam teori keynesian juga membahas tentang sirkularitas dari proses ekonomi. Dimana dalam teori sirkularitas membahas tentang alur siklus produksi. Dalam aliran keynesian juga membahas tentang alur sirkular tenaga kerja, dimana uang dalam alur sirkular ini memainkan peran peran penting terutama ketika kita hendak menelaah apakah proses ini berjalan stabil atau tidak stabil, sehingga perlu menekankan bahwa semua pergerakan atau aliran dalam proses ini selalu melibatkan uang.
Dalam kenyataannya pasar yang justru sistem regulasinya diatur oleh pemerintah malah tidak bisa menstabilkan kondisi pasar yang ada, padahal seharusnya kalau kita merujuk pada pandangan keynesian, tentu mampu meredakan gejolak-gejolak yang ada dalam mekanisme pasar itu sendiri. Malah sekarang kondisi pasar yang ada di indonesia masih menunjukan praktek-praktek kapitalis. Karena melihat kenyataan-kenyataan yang ada, setiap peraturan yang dikeluarkan malah hanya untuk kekuatan pemodal dan bukan untuk mengatasi persoalan pasar. Nicholson (1992:177), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial; yaitu keadaan kesejahteraan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan.
Dikaitkan dengan masalah pasar pengangguran, justru masih merupakan sebuah problem tersendiri bagi pemerintah Indonesia sekarang karena masalah pengangguran ini erat kaitannya dengan pasar tenaga kerja. Hal ini masih merupakan penyesuaian dengan keterbatasan yang membatasi dirinya.Pasar merupakan interaksi antara permintaan dan penawaran yang akhirnya menghasilkan harga. Dan karena tenaga kerja termasuk dalam komoditas pasar faktor produksi, maka tenaga kerja juga mempunyai harga dalam perdagangannya. Masih menurut cara berpikir aliran neoklasik, kegiatan perekonomian digerakan oleh dua sumbu: investasi dan tabungan. Dalam pandangan ini pertumbuhan ekonomi hanya mungkin terjadi bila ada investasi, karena dengan investasi akan diraih dua hal sekaligus: 1. investasi akan menciptakan permintaan tenaga kerja dan dengan begitu akan menimbulkan kekuatan daya beli akibat tingkat pendapatan yang diterima oleh pekerja. 2. Investasi akan menghasilkan barang/jasa yang dilemparkan ke pasar dan ini menjadi dasar dari pendapatan ekonomi nasional (Erani:224).
Pembangunan hanya bisa dicapai dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.  Menurut Human Development Report (2000:3b) menyatakan: “Development should begin with the fulfillment of the basic material needs of an individual including food, clothing, and shelter, and gradually reach the highest level of self-fulfillment. The most critical form of self-fulfillment include leading a long and healthy life, being educated, and enjoying a decent standard of living. Human development is a multidimensional concept comparising four demension, economic, social-psyhological, political and spiritual.
Ada tiga peran yang dapat dilakukan negara untuk mengatasi masalah eksternalitas. Pertama, pembagian otoritas dan tanggung jawab antara pemerintah lokal, pemerintah pusat/negara, dan badan-badan pemerintah (misalnya pengawasan polusi udara) yang bisa menghambat terjadinya penyimpangan seetiap program. Kedua, keengganan umum untuk menggunakan kekuatan pasar untuk menyelesaikan masalah eksternalitas, seperti pajak bagi penghasil polutan. Ketiga, ketidak mauan untuk mempetimbangkan tingkat ‘optimal’ dari kerusakan lingkungan (environmental disruption) menyebabkan eksternalitas hanya bisa diatasi melalui pengeluaran sumberdaya masyarakat (society’s resources). Jadi dengan tiga peran itulah negara bisa datang untuk menuntaskan masalah eksternalisasi.
Berpijak pada pandangan inilah, maka pendekatan EPK dalam derajat tertentu menghendaki adanya peran negara dalam aktivitas ekonomi. Mahzab Keynesian menghendaki adanya peran negara peran negara dalam perekonomian hanya ketika mekanisme pasar mengalami kegagalan. Oleh karena itu, sepanjang mekanisme pasar tidak mengalami kegagalan, negara tidak diizinkan untuk mengintervensi pasar.
Lebih lanjut, fokus utama EPK adalah terciptanya fokus utama stabilitasproses produksi dan pertumbuhan yang dilakukan oleh kelompok pemodal. Dengan aktivitras ini, dipastikan kegiatan produksi sekaligus transaksi perdagangan yang dipelopori dengan aktor utama pemilik modal akan dapat mendonasikan pendapatan yang besar bagi negara. Internasionalisasi persaingan ekonomi merupakan kepercayaan lain yang tidak kalah spektakuler. Kaum klasik/neoklasik berpandangan sangat logis bahwa pemagaran persaingan ekonomi antarnegara berarti melindungi praktik inefisiensi ekonomi yang digeliti oleh warga/firma suatu negara.
Ekonomi Politik Keynesian. Pendekatan Keynesian mengajukan sebuah kritik terhadap konsep pasar yang meregulasi dirinya sendiri yang banyak digunaka oleh pemikir klasik dan neoklasik sebelumnya. Kritik dari pendekatan Keynesian ini mempertanyakan pandangan bahwa system pasar yang tidak diregulasi akan dapat sepenuhnya memanfaatkan potensi produksi yang ada dalam sebuah masyarakat. Inti dari argument tentang pasar yang meregulasi dirinya sendiri adalah bahwa system pasar akan mempertemukan  orang yang memiliki permintaan dengan orang yang memiliki pasokan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dari smeua orang akan terpenuhi sedapat mungkin. Argumen neoklasik ini merujuk pada harga dan permintaan. Harga dari barang akan naik atau turun sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan pasar akan terpenuhi yaitu semua yang dibawa produsen ke pasar akan selalu mendapatkan pembeli. Mekanisme harga ini akan menjamin bahwa permintaan akan selalu ada dan sekaligus membuat investasi capital diarahkan pada bagian-bagian yang memerlukan lebih banyak investasi, dimana kebutuhan yang lebih tinggi akan investasi ini akan ditandai dengan adanya profitabilitas yang lebih besar. Menurut argument neoklasik ini, memang bisa jadi seorang produsen tertentu akan gagal untuk menjual semua yang mereka produksi atau bias mereka produksi, karena apa yang mereka jual tidak diinginkan oleh mereka yang memiliki daya beli yang cukup untuk membelinya.
Kritik dari pendekatan Keynesian mengatakan bahwa kegagalan untuk menemukan pembeli bisa jadi merupakan kesalahan sistemik yang ada tidak ada hubunganya dengan ketidakcocokan antara apa yang diproduksi dengan apa yang diperlukan, melainkan bisa disebabkan karena kegagalan dari mekanisme pasar itu sendiri untuk menarik pembeli-pembeli yang memiliki daya beli yang cukup. Dengan kata lain, pasar gagal untuk mempertemukan permintaan dengan pasokan, sehingga tidak berhasil memanfaatkan keseluruhan kapasitas produksi yang tersedia dalam masyarakat.
Kritik dari pendekatan Keynesian berusaha untuk mempertimbangkan kembali hubungan antara politik dengan pasar. Namun sejauh ini, banyak ekonom dari aliran Keynesian menyimpulkan bahwa kegagalan dalam permintaan agregat (kegagalan dari pasar untuk menarik konsumen-konsumen dalam jumlah sesuai dengan pasokan yang ada dalam pasar) tidak harus diperlukan sebagai sebuah masalah politik. Para ekonom Keynesian mengajukan argument bahwa stabilitasdan kecukupan dari fungsi pasar bisa didapatkan dengan menggunakan mekanisme-mekanisme otomatis, yaitu dengan menggunakan sarana administrative dan bukan dengan cara politik. Argumen dari pendekatan Keynesian ini, tentus saja, dapat diperdebatkan lagi. Tapi yang penting disini adalah bahwa perdebatan terhadap pandangan dari aliran Keynesian ini akan menggeser fokus dari topik-topik utama dalam ekonomi politik ke bidang yang berbeda, sehingga akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru, diantaranya: dalam kondisi yang bagaimana pengelolaan yang dilakukan Negara terhadap perekonomian memerlukan agenda politik dan tidak cukup hanya dengan menggunakan fungsi administratif.
Pendekatan Keynesian memfokuskan pada ketidakstabilan proses reproduksi dan pertumbuhan dalam perekonomian kapitalis. Karena adanya beberapa factor seperti yang akan dipaparkan nanti dalam bagian ini, perekonomian kapitalis mengandung proses-proses yang membuat reproduksi di dalamnya menjadi tidak stabil sehingga tidak dapat diperkirakan secara pasti perkembangannya. Proses-proses yang menimbulkan ketidakstabilan ini membuat kita menjadi ragu tentang sejauh mana pasar yang meregulasi dirinya sendiri dapat dijadikan institusi bagi masyarakat untuk mengorganisir produksi dan distribusi barang.
Kebijakan ekonomi dan kerja penuh. Solusi yang ditawarkan oleh Keynes untuk persoalan pengganguran karena itu berpusat pada tingkat aggregate demand. Tingkat aggregate demand menentukan tingkat output yang terkait dengan tingkat kesempatan kerja. Jika ekonomi di bawah kesempatan kerja penuh, maka tingkat aggregate demand bisa ditingkatkan sampai ke sebuah titik yang melalui mekanisme multiplier, ekonomi tersebut mencapai tingkat kesempatan kerja penuh.
Tingkat aggregate demand mempunyai komponen berbeda, dalam sebuah ekonomi tertutup komponen adalah konsumsi, investasi dan belanja Negara : AD=C+I+G. Karena itu mengontrol AD melalui control dari kompomen-komponen itu.

Karena dalam framework Keynesian permintaaan adalah mesin dari ekonomi (sementara dalam framework liberal ini adalah penawaran – ingat hukum Say: penawaran menciptakan permintaanya sendiri), maka baik kebijakan fiscal maupun moneter menjadi alat untuk usaha mengontrol komponen tingkat aggregate demand yang karennya akan mempengaruhi output kesempatan kerja.

EKONOMI POLITIK KLASIK / NEOKLASIK


Ekonomi olitik klasik/neoklasik berakar dari mazhab ekonomi klasik yang menjadi sumber terpenting perumusan kebijakan ekonomi abad 20 dan 21. Mazhab ini yang menjadi cikal bakal system ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis tegak oleh 4 pilar dasar yaitu : 1. Kegiatan ekonomi dalam sistem kapitalis digerakkan dan dikoordinasi oleh pasar (bebas) dengan instrument harga sebagai penanda (sinyal). 2. Setiap individu mempunyai kebebasan untuk mempunyai hak kepemilikan (property rights) sebagai dasar melakukan transaksi (exchange). 3. Kegiatan ekonomi dipisahkan oleh tiga pemilik factor produksi, yakni pemodal (capital), tenaga kerja (labor), dan pemilik lahan (land). 4. Tidak ada halangan bagi pelaku ekonomi untuk masuk dan keluar pasar (free entry and exit barriers).
Dalam hal penguatan pasar, kegiatan ekonomi digerakkan oleh sector swasta lewat pasar, sehingga bisa mendeskripsikan preferensi setiap individu. Ekonomi kapitalis sangat tergantung dari kelembagaan yang memapankan dan menjamin hak kepemilikan privat secara sukarela berdasarkan kontrak.
Ekonomi politik klasik dibangun dengan dua pokok pikiran, yaitu pasar dapat meregulasi sendiri (self- regulating market) dan eksistensi teori nilai dan distribusi (value and distribution). Premis self- regulating market merupakan doktrin tentang ketangguhan pasar dalam mengorganisasi kegiatan atau transaksi ekonomi yang dipandu oleh sinyal harga dan perilaku mencari keuntungan (profit-seeking behavior). Sedangkan teori  value and distribution menyatakan bahwa nilai suatu barang atau jasa diturunkan dari system pembagian kerja, disini harga suatu barang atau jasa dihitung dari jumlah (jam kerja) tenaga kerja yang digunakan.
Ekonomi politik dalam pendekatan klasik dimaknai sebagai hubungan di antara dua kelembagaan, yaitu pasar dan Negara. Ekonomi politik mempercayai bahwa seluruh kegiatan ekonomi seharusnya dapat diorganisir oleh pasar. Hanya dalam aspek distribusi pendaatan saja Negara diharapkan kehadirannya karena dalam realitas soal distribusi pendapatan ini berkait dengan perjuangan kelas.
Watak dasar dari Ekonomi Politik Klasik adalah memberikan garansi sepenuhnya pada pasar untuk menggerakkan dan mengartikulasikan kegiatan ekonomi. Peran Negara dibatasi pada persoalan non-ekonomi. Disini soal distribusi pendapatan pun dianggap sebagai masalah politik ketimbang ekonomi.
Ekonomi Politik Neoklasik sendiri tumbuh seiring dengan munculnya marginalist pada era 1780-an. Pusat pemikiran neoklasik adalah menempatkan individu sebagai “constrained choice”. Inti dari pandangan ini adalah individu merupakan agen yang memilih, yaitu seseorang yang memutuskan beberapa alternatif dari tindakannya berdasarkan imajinasi tentang dampak dari keputusan tersebut terhadap dirinya.
Secara singkat, Ekonomi Politik Neoklasik sebetulnya bertumpu pada pemahaman tentang keterbatasan pasar sebagai kelembagaan yang dapat memfasilitasi kepuasan individu.
Pandangan Adam Smith atas konsep nilai dibedakan menjadi 2 yaitu nilai pemakaian dan nilai penukaran. Hal ini menimbulkan paradok nilai, yaitu barang yang mempunyai nilai pemakaian (nilai guna_ yang sangat tinggi, misalnya air dan udara, tetapi mempunyai nilai penukaran yang sangat rendah. Malahan boleh dikatakan tidak mempunyai nilai penukaran. Sedangkan di sisi lain barang yang nilai gunanya sedikit tetapi dapat memiliki nilai penukaran yang tinggi, seperti berlian. Hal ini baru diselesaikan oleh ajaran nilai subyektif.
David Ricardo (1772-1823) seorang tokoh aliran klasik menyatakan bahwa nilai penukaran ada jikalau barang tersebut memiliki nilai kegunaan. Dengan demikian sesuatu barang dapat ditukarkan bilamana barang tersebut dapat digunakan. Seseorang akan membuat sesuatu barang, karena barang itu memiliki nilai guna yang dibutuhkan oleh orang. Selanjutnya David Ricardo (1772-1823) juga membuat perbedaan antara barang yang dapat dibuat dan atau diperbanyak sesuai dengan kemauan orang, di lain pihak ada barang yang sifatnya terbatas ataupun barang monopoli (misalnya lukisan dari pelukis ternama, barang kuno, hasil buah anggur yang hanya tumbuh di lereng gunung tertentu dan sebagainya). Dalam hal ini untuk barang yang sifatnya terbatas tersebut nilainya sangat subyektif dan relatif sesuai dengan kerelaan membayar dari para calon pembeli. Sedangkan untuk barang yang dapat ditambah produksinya sesuai dengan keinginan maka nilai penukarannya berdasarkan atas pengorbanan yang diperlukan.
David Ricardo (1772-1823) mengemukakan bahwa berbagai kesulitan yang timbul dari ajaran nilai kerja:
1. Perlu diperhatikan adanya kualitas kerja, ada kualitas kerja terdidik dan tidak terdidik, kualitas kerja keahlian dan lain sebagainya. Aliran yang klasik dalam hal ini tidak memperhitungkan jam kerja yang dipergunakan untuk pembuatan barang, tetapi jumlah jam kerja yang biasa dan semestinya diperlukan untuk memproduksi barang. Dari situ maka Carey kemudian mengganti ajaran nilai kerja dengan ”teori biaya reproduksi.”
2. Kesulitan yang terdapat dalam nilai kerja itu bahwa selain kerja masih banyak lagi jasa produktif yang ikut membantu pembuatan barang itu, harus dihindarkan


 
Contoh Kasus Kebijakan Ekonomi Politik Klasik

Misalnya menyangkut pasar bebas yang ada di 4 wilayah ( Batam . Karimun . Natuna Dan Bintan ). Pemerintah memberikan kebesana untuk mengatur sendiri penjualan yang ada didaerah tersebut tanpa ada campur tangan dari pemerintah 
Ada lagi misalnya penentuan suku bunga bank Swasta maupun negeri . Pihak Bank bebas menentukan suku Bunganya sendiri tetapi ada margin atau batasan dari Bank Indonesia sehingga suku bunga itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah ini adalah salah satu contoh kebijakan Ekonomi Politik Klasik karena pemerintah tidak turut mencampuri masalah penentuan suku bungan ini.

Ekonomi Politik

EKONOMI POLITIK
Pengertian Ekonomi Politik
Ekonomi dan politik berasal dari bahasa Yunani. Ekonomi berasal dari kata "oikos" yang berarti aturan dan "nomos" yang berarti rumah tangga. Sedangkan politik berasal dari kata "polis” yang berarti  negara atau kota. Berdasarkan maknanya yang secara empiris tidaklah sama, namun dalam perkembangan dunia kedua kata tersebut menjadi hal yang berkaitan dan saling mempengaruhi. Tindakan politik tidak terbebas dari kepentingan ekonomi dan sebuah kebijakan ekonomi tidak terlepas pula dari kepentingan politik. Dengan demikian ekonomi politik dimaksudkan untuk mengungkapkan kondisi di mana produksi atau konsumsi diselenggarakan negara-negara.
Definisi ekonomi polotik menurut Balaam merupakan disiplin intelektual yang mengkaji hubungan antara ekonomi dan politik. Menurut P. Todaro, ekonomi politik membahas hubungan politik dan ekonomi dengan tekanan pada peran kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Pakar lainnya menggunakan istilah ekonomi politik untuk merujuk pada masalah yang dihasilkan oleh interaksi kegiatan ekonomi dan politik. Dengan demikian ekonomi politik menjelaskan dan mengungkapkan hukum-hukum produksi kekayaan di tingkat negara dunia.
Ekonomi Politik menunjukkan dua hal cara pandangnya. Pertama, ekonomi politik (klasik) berdasar pada sebuah teori yang meletakkan buruh/pekerja sebagai sumber dari nilai ekonomi. Teori ini (kritik ekonomi yang didasarkan pada profit motive dari Robertson hingga Marx) telah dibalik dan menyatakan bahwa keuntungan yag diperoleh berasal dari eksploitasi pekerja. Kesimpulan ini tentu saja tidak diharapkan oleh pencetus teori ini, terutama Adam Smith dan David Ricardo, sebagai pembela laissez faire (mekanisme pasar bebas; tentang laisser faire akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya) dan keuntungan pribadi. Untuk menunjukkan bahwa di dalam basis nilai-nilai ekonomi yang diproduksi oleh dunia modern terdapat ekspoloitasi pekerja, merupakan tantangan utama pada legitimasi system sosio-ekonomi yang didasarkan pada profit motive saat ini. Apa yang telah dicetuskan Adam Smith dan David Ricardo (teori ekonomi politik klasik) telah diubah menjadi ilmu ekonomi Alfred Marshall, yang menjadi dasar ekonomi modern.
Kedua, ekonomi politik saat ini mengacu pada studi relasi kuasa dan institusi-institusi dalam masyarakat, dimana mampu mempengaruhi cara mendapatkan dan menetapkan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Hematnya, studi tentang ekonomi yang didasarkan pada asumsi: apa yang sedang berlangsung dalam perekonomian dan pengaruh relasi kuasa sosial. Pada tradisi teoritis, relasi kuasa ini terjadi di antara Negara-negara atau di antara bagian-bagian masyarakat itu sendiri. Semenjak kepemilikan menjadi sebuah institusi yang menciptakan ketidaksetaraan kekuasaan sosial, pasar dan institusi lain menjadi mutlak politis karena mereka didasarkan pada ketidakseimbangan kekuasaan sosial.
Dalam konteks globalisasi saat ini, ekonomi politik memungkinkan kita untuk membedah relasi kuasa dan institusi-institusi ini, mempelajari pengaruh-pengaruhnya, mengingatkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi, dan memberika kemungkinan-kemungkinan solusi atas permasalahan yang menumpuk, alternative-alternatif yang dapat digali atas prinsip-prinsip pasar baik di tingkat lokal maupun dunia.

Pendekatan dalam Ekonomi Politik

·         Pendekatan Pilihan Publik
Pilihan publik adalah suatu sikap individu dalam menentukan pilihan mereka secara rasional. Dalam ekonomi politik, analisisnya tertuju pada aktor. Aktor dianggap sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi dan politik dan berlandaskan pada asumsi dasar individualisme metodologis, yang menempatkan sikap rasional idividu di dalam institusi non-pasar.
Namun karena sifatnya yang longitudinal, maka hasil yang dimunculkan oleh model-model pilihan publik berbeda-beda pada satu negara ke negara lainnya.
·         Pendekatan Neo-Marxis
Pendekatan neo-marxis dalam ekononomi politik, menekankan pada sifat holistik yakni analisis secara menyeluruh, mengenai pentingnya aspek-aspek ekonomi makro dari sistem ekonomi dan sistem politik.. Selain itu, pendekatan ini memiliki model yang memiliki aspek komparatif, yakni berusaha membandingkan secara eksplisit.
Pendekatan ini juga menyoroti dan memodelkan berbagai perbedaan antar-negara di bidang kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi dan ketergantungan kelas sosial di masyarakat.

Faktor-Faktor Ekonomi Politik
Tidak jarang kita pernah mendengar besarnya pengaruh politik dalam ekonomi, baik dalam institusi politik maupun  kebijakan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan publik pemerintah dibidang industri sangat besar pengaruhnya terhadap perintisan terhadap perkembangan yang biasa disebut Rostow, tahap tinggal landas, hasil tesis Olson mengatakan bahwa kepolitikan nasional (Institusioanl sclerosis) di suatu negara menyebabkan  merosotnya rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu.

Kemudian yang menjadi pertanyaan oleh penulis adalah bagaimana dengan sistem ekonomi yang di bangun di negeri ini? Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya tapi rakyatnya jauh dari kemapanan, padahal kekayaan negera dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, dimana letak kesalahan sistem yang kita bangun? Relatif sulit semua yang di kelolah  pemerintah maju, hampir rata-rata perusahan badan usaha negara rugi dan sulit untuk berkembang, PLN dan pertamina, krakatau still.
Nasionalisasi perusahaan tidak mampu menjadikan kita menjadi bangsa yang mandiri, hampir relatif sedikit sekali badan usaha negara kita yang bisa bertahan lama, entah kapan atau bisa jadi basok gulung tikar, ini sangat bahaya ketika ini diambil oleh pasar, maka pengalaman kita ketika menjual indosat, terbukti sekarang pulsa menjadi mahal, karena harga telah didominasi oleh swasta, negara seakan tidak berdaya dalam menghadapi ini semua.

Kalau kita komperatifkan dengan Cina misalnya, sampai sekarang masih banyak perusaahan negara yang bertahan, dan mampu mensejahterakan rakyatnya. Indonesia kalau kita lihat secara sepintas sedang menuju neo liberalisme yang tidak lagi terkontrol, Perguruan tinggi juga tidak terlepas dari produk neo-liberalisme.
Sekedar mencontohkan kepentingan atau magnet politik lebih kuat dari magnet ekonomi itu sendiri, artinya ekonomi kerakyatan tersandera oleh politik. Yang membuat RUU migas misalnya di buat oleh Usaid atau bule-bule asing bersama LSM, dari pihak asing dititipkan kata-kata dibeli untuk kepentingan usaha atau bisnis mereka, berkembangnya perusahaan asing di Indoensia tentu akan merugikan  dan berbahaya terhadap migas di negeri ini.