A. PENDAHULUAN
Ekonomi
Politik Marxis, bersumber pada ajaran-akaran ekonomi politik klasik Inggris,
terutama dasar-dasar teori nilai kerja yang dikemukakan oleh Adam Smith dan
David Ricardo. Berpegangan terhadap teori tersebut dan melanjutkan secara
konsekuen teori ini, sambil menyelidiki “hukum gerak ekonomi masyarakat
modern”, Marx sampai pada kesimpulannya yang menjadi baru pertama teori ekonomi
Marx yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun teorinya
bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan dan bahwa mau tidak mau
system kapitalisme harus menyingkir dan digantikan oleh sistem sosialis.
Ekonomi
Politik Marxian merupakan kritik terhadap sistem ekonomi pasar (kapitalisme).
Pilar kelembagaan kapitalisme tersebut diyakini oleh Marx sangat di ekploitatif
karena menempatkan tenaga kerja subordinat berhadapab dengan pemilik modal. Hal
ini bisa terjadi, karena dalam kapitalisme penciptaan pranata-pranata factor
produksi selalu terlambat dari percepatan inovasi produksi (teknologi). Dalam
terminology ekonomi, pranata faktor-faktor produksi tersebut adalah
kelembagaan yang mengatur antara interaksi antara pemilik modal, tanah, dan
tenaga kerja
Persoalan
yang mengemuka adalah ketika inovasi produksi dilakukan pembagian keuntungan
atas kegiatan ekonomi selalu tidak bisa jatuh secara proporsional kepada
masing-masing pemilik faktor produksi sepanjang pranata kelembagaan
faktor-faktor produksi tidak mendukung hal itu. Dalam konteks ini, Marx
berkesimpulan bahwa perkembangan infrastruktur (inovasi teknologi/produksi)
sealu tidak diikuti dengan penataan suprastruktur (faktor-faktor produksi) dan
itu berlangsung terus sepanjang usia peradaban ini.
B. PRINSIP-PRINSIP
Berdasarkan
kritik tersebut, sistem ekonomi sosialis meletakkan faktor-faktor produksi di
bawah kontrol Negara. Keputusan produksi dan investasi tidak dilakukan melalui
pasar dan para kapitalis (sektor privat), tetapi berdasarkan perencanaan
terpusat. Dengan keyakinan itu, sistem ekonomi sosialis memang identik sebagai
ekonomi serba Negara. Negara bukan sekedar sebagai agen yang mengalokasikan dan
memfasilitasi kegiatan ekonomi, tetapi juga sebagai pelaku aktivitas ekonomi
itu sendiri.
Sistem ekonomi sosialis hanya berdasarkan dua
prinsip yaitu :
1. Negara menyiapkan
seluruh regulasi yang diperlukan untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, seperti
investasi, dari mulai proses perencanaan, operasional, pengawasan, sampai ke
evaluasi. Pada level ini fungsi Negara merancang sistem kepemilikan, proses
transaksi, dan pembagian keuntunga berbasiskan instrument Negara. Jadi, dalam
kasus hak kepemilikan, Negara bukan hanya mengontrol, tetapi juga menguasai hak
kepemilikan.
2. Pelaku ekonomi
tidak membuat kesepakatan dengan pelaku ekonomi lainnya, tetapi setiap pelaku
ekonomi membuat kontak dengan Negara sesuai dengan aturan yang telah di
tetapkan.
Pada level ini pula, ketimpangan pendapatan
akan antarpelaku ekonomi juga tidak akan terjadi. Akan tetapi, dalam
operasionalnya EPM lebih rumit dari sekadar deskripsi diatas.
Konflik
kepentingan itu sebetulnya secara singkat menghadapkan antara kepentingan kelas
pekerja dan pemilik modal. Disatu sisi, Marx memberikan latar belakang bahwa
kelas pekerja hanya menerima imbalan pada level “subsisten” dari kegiatan
ekonomi. Sebaliknya, kelas pemilik modal meraup sebuah profit yang dihasilkan
oleh kelas pekerja. Dalam operasionalisasi perusahaan, pemilik modal meminta
buruh bekerja lebih keras, lebih lama, dan lebih efisien sehingga menghasilkan
laba yang tinggi, tetapi upah buruh tetap pada level subsisten. Situasi inilah
yang kemudian memunculkan kesadaran bersama pada kalangan kelas pekerja dan ini
menjadi syarat penting bagi tindakan politik. Oleh karena itu, makna EPM adalah
tindakan politik sebagai respons atas keterjepitan kelas pekerja dalam proses
produksi. Dengan begitu, kesadaran revolusioner dari kelas pekerja dipicu dari
system produksi yang menempatkan kelas pekerja sebagai korban.
Agenda politik
dari EPM sendiri dapat dipilah menjadi agenda politik dua jenis. Pertama,
melakukan revolusi untuk mengambil alih kekuasaan Negara. Model ini akan
terjadi bila masyarakat telah terpolarisasi, konsentrasi modal kian kasat mata,
pengangguran semakin membengkak, dan upah yang kian menurun. Kedua, agenda
ekonomi politik dikerjakan lewat cara yang lebih lunak, yakni pekerja
berpartisipasi dalam kelompik-kelompok kepentingan, partai politik, atau
mengikuti pemilihan legislatif.
Tujuan dari model ini adalah kelompok buruh
dapat mengakses institusi politik sehingga turut dalam proses pengambilan
keputusan atau kebijakan. Model ini berbeda dengan yang pertama adalah hal
caranya yang memilih jalur damai ketimbang kekerasan.
Pada
akhirnya, jika lembaga Negara dapat dimasuki oleh kaum pekerja, maka isu-isu
semacam peningkatan upah, keamanan kerja, uang pensiun, dan pengawasan kerja
bisa lebih memihak kepentingan buruh atau pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar