Gejala globalisasi terjadi pada kegiatan finansial, produksi, investasi
perdagangan yang kelak berpengaruh pada hubungan antar bangsa dan hubungan
antar individu dalam segala aspek kehidupan. Hubungan antar bangsa menjadi
lebih saling tergantung yang bahkan menjadikan ekonomi dunia menjadi satu
sehinga seolah-olah batas antar negara dalam kegiatan perdagangan, bisnis tidak
ada lagi.
Pada umumnya negara di dunia menghadapi perkembangan tersebut dengan melakukan
langkah penyesuaian baik dalam wilayah regional maupun masing individu negara
yang kecenderungannya mengarah kepada proteksionisme. Hal terlihat jelas dengan
munculnya blok blok perdagangan yang pada intinya justru melanggar
kesepakatan yang dituangkan dalam WTO.
Globalisasi ekonomi ditandai dengan makin menipisnya batas-batas
investasi atau pasar secara nasional, regional ataupun internasional. Hal
ini disebabkan oleh : (Halwani, 2005 : 194)
1. Komunikasi dan
tranportasi yang semakin canggih,
2. Lalu lintas devisa
yang makin bebas,
3. Ekononomi negara yang
makin terbuka,
4. Penggunaan secara
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara,
5. Metode produksi dan perakitan
dengan organisasi yang makin efisien,
6. Semakin pesatnya
perkembangan perusahaan multinasional (MNC) di hampir segala penjuru
dunia.
Steiner (1997)
menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang mendorong terjadinya perubahan global.
Pertama, produk nasional kotor (GNP) tumbuh dan meningkat dengan cepat,
terutama di negara-negara maju. Kedua, revolusi dalam teknologi komunikasi.
Ketiga, kekuatan-kekuatan yang mempermudah munculnya perusahaan besar
berskala global.
Peran Negara Bangsa Dalam Era Global
Robert Gilpin , salah satu tokoh realis menyatakan, peran negara bangsa (nation
state) dalam era globalisasi sekarang ini masih sangat diperlukan
(signifikan). Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut
pendukung globalisasi dan pasar bebas . Menurut Gilpin banyak peneliti
mempunyai keyakinan bahwa tengah terjadi pergeseran besar dari ekonomi state
dominated ke arh ekonomi market dominated. Hancurnya Uni Soviet, kegagalan
strategi subtitusi impor negara dunia ketiga, dan suksesnya AS pada era
1990 an telah mendoring penerimaan unrestricted market sebagai solusi bagi
penyakit ekonomi modern. Karena peran negara menjadi berkurang sebagai
gantinya pasar akan menjadi mekanisme penting baik untuk perekonomian
domestik maupun perekonomian internasional. Menurutnya peran negara bangsa
diyakini akan menjadi pembuka kearah ekonomi global yang sesungguhnya , yang
dicirikan oleh tiadanya hambatan dalam perdagangan , aliran uang dalam skala
global dan kegiatan internasional perusahaan multinasional (Gilpin, dalam
Winarno, 2005)
Namun fakta regionalisme ekonomi diberbagai belahan dunia membuktikan bahwa
peran negara bangsa masih relevan. Regionalisme ini menunjukkan respon penting
dari negara bangsa dalam menyelesaikan secara bersama-sama masalah
politik dan interdependensi yang tinggi dari ekonomi global yang
hypercompetitive.Dibanding regionalisme pada tahun 1950 an dan 1960 an , bentuk
reginalisme baru ini lebih signifikan dalam ekonomi global. Kadangkala
regionalisme ekonomi ini mewakili kepentingan individual negara bangsa
baik untuk kepentingan mereka di level nasional maupun kolektif.
Karena ekonomi global semakin terintegrasi, pengelompokan
regional negara bangsa telah meningkatkan kerjasama dalam rangka
memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar, dan memperjuangkan kepentingan
ekonomi politik lainnnya. Dimasa sekarang ini peran negara bangsa justru
dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan neoliberal .
Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dihilangkan tanpa adanya dukungan
kebijakan yang pada gilirannya makin menunjukkan peran negara bangsa
makin diperlukan dalam perekonomian global.
1. Tingkatan
Globalisasi
Menurut Susan dan Strange (Halwani, 2005:197) globalisasi terjadi pada
berbagai tingkatan. Pertama, dengan mengacu pada gagasan sejarawan Perancis,
Fernand Braudel, globalisasi terjadi pada tingkat material life, yang dimaksud
adalah terciptanya struktur produksi global yang menentukan barang dan jasa apa
yang dihasilkan oleh negara untuk kelangsun gan dan kenikmatan hidup. Produksi
barang dan jasa itu beroritentasi ke pasar global dan tidak hanya terbatas
pasar nasional saja.
Kedua, globalisasi juga terjadi pada struktur keuangan, pembiayaan proses
produksi lewat kegiatan investasi kian membutuhkan ruang yang bersifat
global sehingga ada kecenderungan teritoral state tidak lagi menjadi space yang
relevan dan memadai bagi strategi investasi. Selain itu ada ledakan pertumbuhan
transaksi keuangan internasional. Salah satu indikator dari
globalisasi keuangan ini adalah tingkat pertumbuhan yang jauh lebih cepat
dari perdagangan uang asing setiap harinya dibanding dengan total ekspor dunia.
Lairson dan Skidmore (2000) menunjukkan pada tahun 1986 rasionya adalah 25:1,
tahun 1995 rasionya 81:1 maka pada tahun telah menjadi 107 :1.
Ketiga, globalisasi terjadi pada tingkatan persepsi, keyakinan, gagasan dan
selera. Nilai-nilai seperti demokratisasi, perlindungan HAM, pelestarian
lingkungan hidup telah menjadi isu-isu global. Salah satu contoh yang
merepotkan negara sedang berkembang dari segi penanganan HAM adalah
prinsip humanitarian intervention yang dilakukan PBB atas nama dunia
internasional, dimana saja ada pelanggaran HAM berskala besar yang selalu
dikaitkan dengan embargo ekonomi. Sedangkan keputusan ini banyak dilakukan oleh
negara-negara besar di Dewan Keamanan PBB.
2. Sudut
Pandang Terhadap Globalisasi
David Held at.al,(1999) membagi pendapat para pakar dalam memandang dan
menyikapi globalisasi dalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis,
kelompok skeptis dan kelompok transformationalis. Bagi kelompok hiperglobalis
pengertian globalisasi adalah sejarah baru kehidupan manusia dimana
negara tradisional telah menjadi tidak relevan lagi, lebih-lebih menjadi
tidak mungkin dalam unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global.
Kelompok ini percaya globalisasi ekonomi membawa serta gejala “denasionalisasi”
ekonomi melalui pendirian jaringan jaringan produksi trasnasional
(transnasional networks) , perdagangan, dan keuangan. Dalam dunia yang “
borderless ” peran pemerintah tidak lebih seperti transmission belts bagi
kapital global. Lebih lanjut kelompok ini percaya globalisasi ekonomi tengah
membangun bentuk baru organisasi social yang tengah menggantikan atau akhirnya
akan menggantikan negara bangsa (nation states) sebagai lembaga ekonomi utama
dan unit politik dari masyarakat dunia.
Kenichi Ohmae sebagai pendukung hiperglobalis dalam buku The End of
nation State (1995) yang sering dijadikan manifesto hiperglobalis,
berargumen bahwa setidaknya ada empat faktor yang membuat peran negara bangsa
di era “dunia tanpa batas negara“ (a world without borders) makin menipis.Negara
bangsa tidak lagi memiliki sumber-sumber tanpa batas yang dapat
dimanfaatkan secara bebas untuk mewujudkan ambisi mereka. Empat faktor
tersebut oleh Ohmae disebut sebagai empat I (investment, industry, information
technology dan individual). Investasi sebagai I yang pertama adalah pasar modal
di negara maju yang dibanjiri uang tunai untuk invesasi, karena peluang
investasi tidak selalu ada maka pasar modal mengembangkan berbagai
mekanisme uintuk mentranfer dana keuangan itu melintasi batas-batas nasional.
Dengan kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan aliran dana ini menyebar
dengan cepat keseluruh penjuru dunia. Namun investasi ini juga menimbulkan
dampak buruk bagi negara bangsa yang struktur ekonomi dan keuangannya
rapuh. Kasus Asia Timur, dan Asia Tenggara adalah contoh yang jelas akibat
globalisasi keuangan ini.
Industri yang merupakan I ke dua, adalah industri yang mempunyai orientasi
global dibanding sepuluh tahun lalu. Strategi perusahaan TNC dan MNC tidak lagi
dikendalikan oleh alasan negara namun lebih pada keinginan dan kebutuhan
melayani dan mencari sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia.
Pergerakan investasi dan industri keseluruh dunia tidak lepas berkat kemajuan I
yang ketiga yaitu information technology. Juga ditambah dengan makin murahnya
tranportasi menyebabkan perusahaan transnasional dan aliran modal global
makin gampang bergerak ke seluruh dunia. Teknologi informasi pulalah yang
menyebabkan integrasi, interdependensi dan interlink semua aspek
kehidupan baik itu budaya, ekonomi dan politik sehingga terciptalah
globalisasi budaya, globalisasi ekonomi dan globalisasi politik.
Individual sebagai I keempat, menunjukkan individu di seluruh dunia makin
berorientasi global. Teknologi informasi memungkinkan individu melihat, membeli
dan berperilaku seperti dilakukan dibelahan dunia lain. Hal ini terutama
terlihat pada gaya hidup yang banyak meniru perilaku individu di negara maju.
Konsumen makin menginginkan produk berkualitas, murah tanpa menghiraukan
darimana produk tersebut berasal. Fenomena ini dikenal sebagai
international demonstration effect.
Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua ini disebut sebagai kelompok
skeptis terhadap globalisasi. Hirst dan Thompson sebagai pendukung kelompok
skeptis, menyerang tesis hiperglobalis yang menganggap remeh peran kekuasaan
pemerintahan nasional dalam mengatur kegiatan ekonomi internasional.
Bahkan Hirst dan Thompson menganggap globalisasi adalah mitos belaka.
Kelompok skeptis ini berpendapat bahwa kekuatan global itu sendiri sangat
tergantung pada kekuasaan mengatur pemerintahan nasional untuk menjamin
liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa
sebenarnya proses globalisasi hanya berlangsung di Jepang, Amerika Serikat dan
Eropa. Sedangkan kekuatan regionalisme menjadi satu ciri yang menunjukkan peran
negara bangsa.
Kelompok ketiga ini terletak diantara pandangan ekstrim hiperglobalis dan
skeptis, kelompok ini dikenal dengan nama transformasionalis. Kelompok ini
berkeyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, globalisasi adalah
kekuatan utama dibalik perubahan sosial, ekonomi dan politik yang tengah
menentukan kembali masyarakat masyarakat modern dan tantanan dunia (world
order). Penganut kelompok ini meyakini proses globalisasi yang tengah
berlangsung saat ini secara historis belum pernah terjadi sebelumnya dimana tak
lama lagi perbedaan antara internasional dan domestik, hubungan internal
dan eksternal tidak lagi menjadi jelas. Meskipun mereka juga mengakui bahwa
proses globalisasi mempunyai akar sejarah yang panjang.
Mengenai peran negara bangsa, kelompok tranformasionalis berpendapat
bahwa globalisasi yang tengah berlangsung saat ini sedang mengatur
kembali kekuasaan, fungsi dan otoritas pemerintahan nasional. Peran negara
harus disejajarkan dalam berbagai tingkat dengan perluasan yurisdiksi
lembaga pengaturan internasional sebagai mana kewajiban yang berasal dari hukum
internasional. Artinya peran negara bangsa sejajar dengan lembaga internasional
dan perusahaaan transnasional.
David Held dalam buku Global Tranformation (2000) sebagai kelompok tranformatif
ini menyatakan bahwa globalisasi masa lampau dengan sekarang berbeda jauh
karena tiga hal yaitu ; velocity, intensity dan extensity. Karena tiga hal
tersebut globalisasi sekarang menimbulkan dampak dahsyat dibanding
globalisasi sebelumnya. Namun bukan berarti telah melabrak segala sesuatunya
hingga hilang, budaya lokal dan negara bangsa (nation state) tetap ada.
MODEL-MODEL
DALAM SISTEM EKONOMI GLOBAL
Terlepas dari suka atau tidak suka, proses globalisasi meskipun belum jelas
tipe idealnya terus terlanjut karena kekuatan-keuatan internal (pasar,
informasi, teknologi dan kontrol) Namun untuk kepentingan ilmu ekonomi dan ilmu
pengetahuan pada umumnya bentuk masa depan sistem ekonomi internasional atau
system ekonomi global tetap penting untuk dipetakan. Hirst dan Thompson (1996)
mengajukan dua model ideal, yaitu : 1) ekonomi internasional yang terbuka (an
open international economy) dan 2) ekonomi global purna ( a fully globalized
economy)
Model I: Ekonomi
internasional
Model pertama ini
merupakan system ekonomi yang masih bercirikan ekonomi nasional masing-masing
negara. Hubungan perdagangan dan investasi antar bangsa tidak serta merta
menhilangkan identitas sistem ekonomi nasional, tapi lebih merupakan
dinamika hubungan keluar (outward looking) dari masing-masing pelaku.
Meskipun demikian, hubungan intensif dalam uda bidang tersebut terus membawa
pelaku-pelaku ekonomi nasional berintegrasi ke pasar internasional.
Pemisahan identitas dan kebijakan pada dua level (nasional dan
internasional) masih tetap terlihat dengan jelas.
Sistem ekonomi internasional juga ditandai oleh bangkitnya perusahaan
multinasional (MNC, Multi National Corporation). Meskipun demikian MNC masih
bias diidentifikasikan basis negaranya dan tetap mengikuti tata aturan dan
kebijakan nasional masing-masing. Ekonomi internasional sekarang memang
diarahkan lebih terbuka, diikuti oleh kebangkitan lembaga-lembaga seperti
WTO/GATT, APEC dan lain sebagainya. Lembaga ini dibuat untuk menjaga
keterbukaan ekonomi negara anggotanya meskipun pada kenyataannya
negara maju lebih banyak diuntungkan. Sistem ekonomi internasional
semakin intensif berinteraksi satu sama lain pada akhir abad ke-20 ketika
revolusi teknologi komunikasi dan informasi muncul.
Model II : Ekonomi
Global (globalized economy)
Model kedua ini pada dasarnya merupakan kebalikan dari model pertama dimana
ekonomi internasional hanya merupakan bagian integral dari segenap proses,
transaksi dan perkembangan global. Ekonomi global tercipta dan saling
berinteraksinya ekonomi nasional mengarah ke bentuk kekuatan baru. Dengan
demikian kebijakan pada tingkat nasional maupun kebijakan bisnis pada tingkat
perusahaan tidak lain sebagai perwujudan dan penyatuan
kekuatan-kekuatan pasar global. Kebijakan, kegiatan dan interaksi pada tingkat
nasional diintegrasikan ketingkat global.
Meskipun demikian kegiatan dan sistem ekonomi yang mengglobal membawa persoalan
: “Bagaimana dengan institusi pemerintah pada tingkat yang sama
(internasional), yang menyertai institusi pasar global ?” Masalah ini
merupakan isu krusial karena tanpa mekanisme pemerintahan, institusi pasar akan
berkembang pada tatanan yang amat riskan, tidak adil, mendekati hukum rimba dan
tidak akan mampu mengakomodasikan nilai moral dan etika.
Dalam model ekonomi global, institusi negara dalam bentuk governance
pada tingkat internasional tidak bisa hadir dengan sendirinya tanpa
konsensus kolektif negara anggotanya. Institusi pada tingkat inilah yang
tidak berkembang dengan baik, terbukti dengan krisis yang terjadi sejak tahun
1930an (depresi), tahun 1970-an (krisis minyak), sampai akhir 1990-an (krisis
mata uang di Asia), menunjukkan berperannya institusi governance pada
tingkat internasional.
DAMPAK EKONOMI
GLOBAL.
William Greider dalam bukunya One World, Ready or Not, The Maniac Global
Capitalism (1998) melontarkan tesisnya bahwa motor dibalik globalisisme adalah
” kapitalisme global ”. Sesuai dengan watak dari kapitalisme yang rakus
dan tidak pernah puas, mereka beramai-ramai menguras kekayaan dunia, masuk ke
kantong mereka dnegan memanfaatkan teknologi komputer, mengabaikan kesantunan
hidup bersama.Memang kapitalisme global telah memberikan kenyamanan dan
kemudahan namun hanya dinikmati 10 % penduduk dunia. Sementara jurang antara
kaya dan miskin (istilah baru, digital devide) menjadi kian menganga. Kapitalis
global ini terdiri atas spekulan uang yang jumlahnya tidak lebih dari 200.000
orang (termasuk George Soros yang paling terkenal) dan 53.000 MNC yang hanya
memperkerjakan 6.000.000 orang di seluruh dunia.Juga institusi seperti IMF,
World Bank, WTO. Lembaga-tersebut telah secara langsung maupun tidak langsung
membantu liberalisasi ekonomi keseluruh dunia, dimana tahun 1970 an pasar dunia
masih merupakan pasar tertutup. (Halwani,2005:201)
Dampak utama yang muncul akibal globalisasi ekonomi adalah
bagaimana mengatur ekonomi global itu. Pasar global yang terlepas dari
konteks sosialnya sulit sekali diatur sekalipun taruhlah ada kerja sama
yang efektif antara pihak yang berwenang mengatur ekonomi dan kepentingan
mereka sejalan. Kesulitan utama adalah bagaimana menyusun pola kebijakan
nasonal dan internasional yang efektif dan terintegrasi guna menghadapi
kekuatan-kekuatan pasar global. Ketergantungan sistematik antara negara
dan pasar sama sekali tidak harus berarti akan tercipta secara otomatis
integrasi harmonis yang memberikan manfaat pada konsumen dunia, karena
pasar global benar-benar bebas dan efisien dalam membagikan sumber dan daya
produksinya.
Dampak utama kedua adalah pelaku ekonomi yang banyak berperan dalam
model ekonomi global ini adalah perusahaan besar MNC (multi national
corporation) dan akan berubah menjadi TNC (trans national
corporation). TNC bercirikan murni modal yang bebas mengalir kemana saja
(footloose investment) juga industri yang gampang pindah lokasi (footloose
industry) tanpa kedudukan nasional, dengan pengelolaan manajemen internasional,
dan bersedia beroperasi dimana saja untuk mencari laba sebesar-besarnya. Di
sektor keuangan hal ini dapat dicapai dengan mudah, cukup dengan menekan
tombol komputer maka lalu lintas modal akan berpindah ke belahan dunia
manapun tanpa terpengaruh campur tangan kebijakan moneter nasional sedikitpun.
Dampak globalisasi yang terakhir dan tidak dapat terelakan adalah bahwa
dalam sistem politik internasional muncul pusat-pusat kekuatan baru.
Negara yang selama ini memegang kekuasaan hegemoni di dunia tidak dapat
lagi memaksakan tujuan kebijakannya sendiri, baik di dalam wilayahnya maupun di
tempat lain,sementara lembaga lain (swasta maupun pemerintah) yang selama ini
lemah sekarang akan lebih kuat. Berbagai lembaga, dari lembaga
sukarela internasional hingga perusahaan TNC, menikmati kekuasaan yang lebih
besar sementara wibawa pemerintah nasional makin turun. Lembaga-lembaga
ini dengan menggunakan pasar global dan media global, memperoleh
legitimasi dari konsumen dan warga lintas batas.
1. Janji janji
Globalisasi
Dampak positif yang dijanjikan globalisasi sangat banyak
(Deliarnov, 2006 : 203). Selain menjanjikan memperlancar arus tranportasi
dan informnasi; memberikan akses dan alih pengetahuan; memperpanjang usia
harapan hidup; melayani masyarakat lebih baik lagi; meningkatkan pertumbuhan
ekonomi; meningkatkan ekspor; membuat harga lebih murah; meningkatkan standard
hidup; mengurangi kemiskinan; mengurangi ekploitasi terhadap tenaga kerja
wanita dan anak-anak. Selain daftar kehebatan di atas, globalisasi juga
dipandang sebagai salah satu pendorong lahirnya lembaga atau
badan yang memberikan banyak bantuan modal (World Bank dan IMF),
lembaga yang merupakan wadah pasar bebas (WTO), institusi intergovernmental
untuk bantuan perdamaian (PBB); perburuhan (ILO); pendidikan (UNICEF);
kesehatan (WHO) dan juga lembaga bantuan sosialm (Palang Merah Internasional).
Bahwa globalisasi akan membantu negara-negara sedang berkembang
meningkatkatkan ekspor dan menyediakan barang dan jasa dengan harga
murah. Hal ini juga cuma janji kosong, karena pada kenyataannya negara sedang
berkembang justru berhadapan dengan produk dari negara maju yang lebih berkualitas
dan harga yang lebih murah. Sedangkan produk negara sedang berkembang sulit
masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan berbagai cara.
Globalisasi akan menciptakan lapangan kerja. Hal ini memang tujuan utama
didirikannya IMF ; Bank Dunia GATT seperti disarankan oleh JM Keynes, yakni
untuk mengatasi kegagalan pasar dan mendorong peran pemerintah dalam
menciptakan lapangan kerja. Fakta di lapangan ternyata berbicara lain, justru
munculnya TNCs di negara berkembang menimbulkan pengangguran karena biasanya
bisnisnya bersifat capital intensive dan high technology. Menurut Susan George,
200 TNCs terbesar menguasai 25 % kekayaan dunia, tapi tidak banyak menyerap
tenaga kerja. Sedangkan 6000 TNCs yang menguasai sepertiga perdagangan
dunia hanya mampu menyerap kurang dari 1 % tenaga kerja dunia.
Globalisasi juga dikatakan akan mengurangi eksploitasi terhadap tenaga kerja
perempuan dan anak-anak. Dalam prakteknya malah menunjukkan telah terjadi
“feminisasi” tenaga kerja, yakni dominannya tenaga kerja perempuan disektor
industri dengan upah yang rendah. Bahkan sebagian migran perempuan dari
desa-desa itu terjebak trafficking (perdagangan perempuan antar negara).
2. Dampak Globalisasi
Ekonomi Terhadap Indonesia.
Sejak tahun 1993, OECD sudah memberi sinyal Indonesia akan dirugikan dengan
berlakunya liberalisasi perdagangan internasional. Akan tetapi Soeharto sebagai
penguasa Orde Baru yakin sekali dengan prakarsa perdagangan bebas. Akhirnya
yang terjadi adalah ramalan OECD tersebut terbukti, yakni Indonesia justru
menghadapi persaingan baru dari negara-negara maju yang mampu menghasilkan
produk dengan kualitas baik dan harga bersaing, sedang produk Indonesia sulit
masuk ke pasar negara maju karena dihambat dengan pencabutan fasilitas
kemudahan ekspor yang bernama Generalized System of Preference. GSP ini
merupakan fasilitas yang diberikan oleh Departemen Perdagangan AS kepada
sejumlah negara untuk mengurangi dan menghilangkan pajak impor bagi negara yang
dianggap berdagang secara “sehat“ dengan AS.
Sejak peristiwa WTC 11 September 2001, AS khususnya melakukan proteksi yang
dikemas dengan istilah undang-undang bio-terrorism, iso-labeling, eco-labeling,
ditambah embargo ekonomi dan sangsi ekonomi. Peristiwa Santa Cruz di Timor
Timur (waktu itu) membuat Indonesia diembargo dalam pengadaan alat militer dan
juga perdagangan ekspor Indonesia ke AS. Tekanan paling keras dilakukan
AS terhadap negara industri baru di Asia Timur termasuk Indonesia. Hal ini
dilakukan oleh AS guna menyeimbangkan neraca perdagangan As yang merosot pada
beberapa tahun terakhir ini. Hal ini tentu berdampak pada perekonomian nasional
karena masuknya produk asing, embargo, dan proteksi negara tujuan ekspor
khususnya AS menjadikan daya saing produk domestik lemah dan munculnya efek
domino karena tutupnya sejumlah industri, yaitu PHK dan pengangguran.
Perluasan ekspor Indonesia terasa makin berat sejak dicabutnya GSP tahun 2005
belum lagi halangan masuk (entry barrier) yang sengaja diciptakan oleh negara
maju. Sehingga ekspor tekstil Indonesia tidak memiliki kuota untuk masuk pasar
AS. Didalam negeri gempuran produk China terus-menerus terjadi, sehingga
beberapa industri domestik rontok dan merumahkan karyawannya.
Globalisasi bukan hanya menggempur pelaku ekonomi di negara sedang
berkembang. Globalisasi mampu mengendalikan demokrasi bahkan bertindak lebih
jauh dengan mendikte apa yang harus dilakukan pemenang pemilu yang
diselenggarakan secara demokratis sekalipun. Rakyat memang menentukan
siapa yang menang dalam pemilihan umum. Namun siapa yang akan duduk di kabinet
bisa ditentukan oleh konstituen pasar yang berada di sentra finansial
global.
Di pasar global Indonesia tidak menghadapi persaingan biasa yang hanya
menggantungkan diri pada mekanisme pasar, tetapi Indonesia menghadapi kekuatan
yang terpola. Kekuatan ini bisa berbentuk TNCs, MNCs, pemerintahan negara kaya,
lembaga dunia seperti IMF, Word Bank dan WTO. Indonesia saat ini berada dalam
jebakan “perang modern” yang dimulai dari krisis moneter 1997/1998. (Deliarnov,
2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar